Lihat ke Halaman Asli

Menghadapi Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Diperbarui: 20 Januari 2021   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan Islam di era globaisasi

Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akin memengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat Muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam pada khususnya, termasuk pesantren khususnya " Pendidikan Islam dalam era globalisasi sebagaimana dampak disebutkan di atas, berada di persimpangan jalan. Yaitu, apakah pendidikan Islam harus mengikuti sepenuhnya tuntutan era globalisasi, atau tetap bertahan pada kepribadian dan karakternya sebagaimana yang ada sekarang Jika pendidikan Islam tersebut harus sepenuhnya mengikuti tuntutan globalisasi, maka ia terpaksa harus mengubah wataknya menjadi sebuah korporat yang tunduk sepenuhnya pada logika bisnis yang bernuansa kapitalistik, yang berwatak monopoli, saling mematikan, menghalalkan segala cara, individualistik, materialistik, dan sebagainya.

Sebaliknya jika ia harus tetap bertahan pada karakter utamanya, maka ia akan ditinggalkan oleh masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada sejumlah perguruan yang di masa lalu namanya demikian dikenal masyarakat, namun kini sudah ditinggalkan masyarakat, karena tidak lagi dianggap memberikan sesuatu yang mereka butuhkan. Sebaliknya ada pula lembaga pendidikan yang dari sejak berdirinya puluhan tahun yang lalu, namun masih tetap bertahan dan diminati masyarakat. Menghadapi problematika yang demikian itu, maka terdapat beberapa langkah inovatif sebagai berikut.

Pertama, melakukan perubahan visi, misi dan tujuan. Hal ini penting dilakukan, karena era globalisasi telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan, atau sebagai produk yang dijual pada konsumen yang harus menguntungkan. Hal ini terlihat, antara lain: (1) masyarakat lebih memilih program studi yang lulusannya mudah mendapatkan pekerjaan yang secara ekonomi menguntungkan.

Akibat dari keadaan yang demikian, maka program-program studi yang kurang marketable menjadi kurang diminati; (2) masyarakat menganggap bahwa biaya pendidikan yang dikeluarkannya merupakan invenstasi yang harus menguntungkan; (3) bahwa jumlah mahasiswa pada setiap kelas pada suatu prodi harus mencapal jumlah kuota tertentu, sehingga secara ekonomi tidak merugikan, atau menimbulkan break even point; (4) misi pendidikan adalah memberikan pelayanan yangmemuaskan kepada pelanggan (customer satisfaction); (5) tujuan pendidikan menghasilkan lulusan yang siap pakai (ready for use) untuk dunia industri dan usaha. Visi, misi dan tujuan pendidikan yang demikian itu tidak sepenuhnya salah, karena melakukan aktivitas bisnis juga dianjurkan dalam Islam, sepanjang usaha bisnis tersebut sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan niat mencapai keridhaan Allah Swt., sehingga usaha ini memberi nilai ibadah. Untuk visi, misi dan tujuan pendidikan Islam harus disertai dengan upaya menjadikan pendidikan Islam sebagai pilar terdepan dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Dengan visi, misi dan tujuan ini, maka pendidikan tidak hanya diukur dari seberapa banyak memberikan keuntungan ekonor melainkan pada seberapa jauh pendidikan dapat memberdayakan sumber daya manusia, membangun, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi fisik, pancaindra, akal, hati nurani dan spiritualnya secara utuh, sehingga ia mampu melahirkan karya-karya inovatif baik fisik maupun nonfisik, material maupun nonmaterial sebagai modal untuk membangun kebudayaan dan peradaban.

Pendidikan bukan hanya menghasilkan para tukang atau pekerja untuk kepentingan kalangan usaha dan industri, melainkan sebagai orang orang yang dapat melakukan pencerahan bagi masyarakat, meningkatkan pola pikir, pandang dan kualitas hidup masyarakat. Dengan pandangan semacam ini, biaya atau modal yang dikeluarkan untuk pendidikan tidak hanya diukur oleh keharusan mengembalikan uang modal tersebut, melainkan dibayar oleh kehidupan masyarakat yang makin berbudaya dan beradab.

Demikian pula keberadaan prodi-prodi yang tidak atau kurang marketable juga jangan langsung dihapuskan atau dibubarkan, melainkan tetapi dipelihara dan dihidupkan dengan cara dibantu atau disubsidi oleh program studi yang markatahte Untuk itu, walaupun jumlah mahasiswa dalam prodi tersetrum hanya beberapa orang saja, seperti prodi/jurusan sejarah, antropologi, filsafi atau filologi, atau fakultas-fakultas agama, hendaknya prodi/jurusan ini temp dibuka dan dihidupkan, karena jurusan ini walaupun tidak secara langsung memberikan sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi, namun sangat berperan besar dalam melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, arif, bijaksani, berbudaya dan beradab.

Kedua, melakukan penyeimbangan kurikulum dan isi bahan ajar, antara ilmu-ilmu yang terkait dengan pengembangan fisik, pancaindra, dan akal dengan pengembangan hati nurani dan spiritual. Dengan cara demikian akan terjadi keselmbangan antara kekuatan pancaindra dan akal dengan kekuatan hati nurani (moral) dan kesadaran spiritual. Dengan demikian. berbagal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diterima para lulusan, tidak akan digunakan untuk tujuan-tujuan merusak atau melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat, melainkan agar meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berkembangnya budaya hedonistik dan materialistik yang menimbulkan berbagai penyimpangan moral, dekadensi moral, korupsi, dan sebagainya, menjadi bukti, bahwa lembaga pendidikan sudah berhasil melahirkan orang yang cerdas, terampil dan berpengalaman, namun belum berhasil menghasilkan orang yang memiliki kecerdasan moral dan spiritual. Mereka belum memiliki perasaan yang kuat, bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya itu akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

Perasaan (hati), penglihatan dan pendengaran mereka hanya mampu melihat hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi belum mampu melihat yang batiniah, sehingga belum mampu melihat hikmah, peringatan dan ajaran ilahiyah yang terkandung di dalam apa yang dirasakan oleh hati, dilihat oleh mata dan didengar oleh telinganya. Menghadapi keadaanniwa pendidikan Islam adalah moral dan akhlak mulia, yang selanjutnya menjiwai berbayang demikian, para pakar pendidikan telah berusaha keras memperbaiki keadaan lulusan pendidikan melalui penguatan pendidikan akhlak mulia dan pendidikan karakter. Masalah ini lebih lanjut dijawab dengan melakukan pembaruan kurikulum, yaitu dari kurikulum tahun 2004, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum tahun 2006, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum tahun 2013 yang tidak disebutkan namanya.

Kurikulum tahun 2013 ini disusun sebagai respons atas adanya kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya kasus-kasus perkelahian masal, yang penyebabnya antara lain, karena kurikulum yang ada sekarang (KBK/KTSP) adalah terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu diorientasikan dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini. Sejalan dengan itu, maka beban mata pelajaran yang bersifat kognitif atau sains pada tingkat Sekolah Dasar (SD) misalnya ditiadakan; dari yang semula 9 mata pelajaran hanya menjadi 6 mata pelajaran saja, yaitu Pendidikan Agama. Pendidikan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline