“JAKARTA,KOMPAS.com – Kepala Dinas Pendidikan DKI Arie Budhiman memastikan bakal memanggil guru-guru serta kepala sekolah SD Negeri 07 Pagi Kebayoran Lama Utara. Pemanggilan itu terkait tewasnya A(8) yang diduga dipukul dan ditendang oleh temannya, R (8), Jumat (18/9/2015)”
Kasus diatas hanyalah salah satu dari sekian kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak. Menurut hasil survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, 2% dari 250 juta anak mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan sebuah riset dari LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) 2015 menyatakan terdapat 44% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah yang dibagi 13% kekerasan oleh guru dan 31% dilakukan oleh teman sebaya.
Tentu saja jumlah kasus kekerasan pada anak ini cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, jika kita ingin melihat masa depan suatu negara maka kita bisa melihat dari generasi mudanya. Jika kasus kekerasan oleh dan terhadap generasi muda di Indonesia terus terjadi, bisa ditebak seperti apa nasib negara ini nantinya.
Ada berbagai faktor yang memicu terjadinya kekerasan. Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah : 1) Kekerasan dalam rumah tangga, 2) Disfungsi keluarga, 3) Faktor ekonomi, 4) pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Namun, dari sekian banyak faktor yang terdapat di masyarakat, salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah tayangan televisi maupun media-media lainnya. Dimana ternyata 62% tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan (Tempo,2006).
Padahal, media dan teknologi saat ini telah menjadi bagian dari kebutuhan. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari kedua hal tersebut. Dan disaat pengaruh media terhadap anak semakin tinggi serta kemajuan teknologi semakin canggih, peran orangtua yang seharusnya menjadi “pengawas” bagi anak-anak malah sering kali diabaikan.
Media massa, terutama televisi adalah sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat mempengaruhi khalayak secara luas. Dan bagaikan narkotika, masyarakat, khususnya anak-anak seolah “kecanduan” dengan televisi dan media lainnya. Anak-anak, yang idealnya hanya menonton televisi dua jam per hari justru mencapai angka 35 jam per minggu atau dengan kata lain sama dengan 1820 jam per tahun, padahal menurut United Nations Education and Culture Organization(UNESCO) jam belajar sekolah dasar tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan tersebut, dikhawatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.
Permasalahannya, didalam media yang mudah dijumpai anak-anak ini justru sebagian besar berisikan konten-konten kekerasan didalamnya. Kekerasan bisa dengan mudah kita jumpai di televisi, video game, dan berbagai media lainnya. Kekerasan seolah-olah memiliki daya jual tersendiri. Dan meskipun kebanyakan riset tentang kekerasan media difokuskan pada televisi, kekerasan juga semakin bertambah di media lain, temasuk musik rock dan video game.
Hasil studi menunjukkan bahwa mahasiswa yang mendengar lagu berlirik kekerasan merasa lebih memusuhi orang lain ketimbang yang mendengar lagu nonkekerasan (Anderson, Carnagey, & Eubanks, 2003). Begitu pula dalam video game, sejumlah riset menunjukkan bahwa memainkan video game yang berisi kekerasan akan dapat menimbulkan ekspektasi permusuhan terhadap orang lain.
Selain itu, daya tarik video game dan internet juga dikhawatirkan akan menggantikan hubungan tatap muka. Dan berkurangnya intensitas hubungan tatap muka tentu akan mempengaruhi attitude serta keputusan yang diambil seseorang. Attitude adalah evaluasi terhadap objek, isu, atau orang yang dipengaruhi oleh 3 komponen. Yaitu komponen afektif yang terdiri dari emosi terhadap suatu stimulus, komponen bevioral yang merupakan cara orang bertindak dalam merespons stimulus dan terakhir komponen kognitif yang terdiri dari pemikiran seseorang tentang objek tertentu.
Bisa dibayangkan jika semakin hari hubungan tatap muka semakin berkurang, orang hanya dihadapkan pada gadget, sebuah benda yang tidak memiliki emosi. Tentu saja itu mempengaruhi terjadinya kekerasan dan konflik, karena sikap yang diambil yang seharusnya merupakan proses dari mempelajari emosi dan stimulus orang lain tergantikan oleh chat dan media lainnya. Itulah yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dan mudahnya sesorang melakukan tindak kekerasan.
Media dan kemajuan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Disatu sisi, media dan teknologi menampakkan sisinya yang ‘prososial’ namun di sisi lain ia juga menampakkan sisinya yang ‘asosial’. Pada sisi yang prososial, media melakukan penyebaran informasi melalui suratkabar, televisi, radio, film, dan internet yang membentuk pengetahuan dan pendapat manusia mengenai berbagai hal dalam kehidupan. Sedangkan pada sisinya yang asosial, media menjadi bersifat destruktif. Menampilkan berbagai muatan anti-sosial.