Lihat ke Halaman Asli

Namaku, Magda

Diperbarui: 15 Maret 2016   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Magda, begitu orang memanggilku. Selain karena aku berasal dari Magdala juga karena aku perempuan yang dibenci masyarakat. Mereka menganggapku wanita tuna susila, mungkin memang karena pekerjaanku dulu. Dulu, sebelum aku mengenal pria itu.

Ketika itu, aku diseret oleh seluruh penduduk kampung, sesaat setelah subuh itu mereka menemukanku tidur bersama seorang pria yang bukan suamiku, ya karena memang tak ada orang yang mau menjadikanku istri. Siapa yang mau menjadikanku istri, perempuan takpunya susila ini? Pagi itu, aku sudah pasrah, diarak setengah telanjang keliling desa hingga sampai batas kampung untuk dilempari batu hingga mati. Ketika itu mereka sudah mengelilingiku dengan membawa berbagai ukuran batu, aku sudah membayangkan sebentar lagi tubuh mulusku akan berdarah darah dan tergeletak mati. Ya... Biarlah jika memang harus begitu caranya aku mati, daripada menanggung dosa dan menanggung malu begini.

Tiba tiba seorang pria berjubah putih menerobos masuk, berdiri di sampingku yang tertunduk berusaha menutupi tubuh setengah telanjangku. Pria itu diam, menunduk, menulis sesuatu yang tidak aku pahami dengan sebatang kayu kecil diatas tanah. Diam. Sedemikian heningnya sekelilingku karena perilaku Pria ini. Tiba tiba Dia mengangkat wajahNya dan mengelilingi semua orang dengan tatapan mataNya yang tajam, dan berkata:

Bagi kalian yang tidak memiliki dosa silahkan kalian lempari wanita ini sampai mati.

Hening... Pria itu juga diam. Tetap menulis di tanah. Menunduk dalam hening. Sementara orang orang mulai mundur dalam diam mereka, tanpa satupun berani menjawab atau melemparkan batu yang sudah mereka persiapkan kepadaku. Akupun diam. Hingga orang terakhir pun meninggalkan kami. Dia lalu mengangkat wajahNya, tatapan lembutNya menatapku. Bukan! Itu bukan tatapan tertarikNya akan bodyku yang aduhai nyaris telanjang ini. Bukan pula tatapan sinis mempermalukanku, seperti yang biasa kuterima dari semua orang. Bukan pula tatapan haus seperti layaknya pria hidung belang lemparkan padaku. Namun aku menerima tatapan lembut penuh pengampunan dariNya, seakan dari tatapanNya itu Dia tersenyum. SuaraNya terdengar lembut:

Adakah yang melukaimu?

Aku menggeleng

Akupun tidak! Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang!

Dia... Dia... Membebaskanku. Itu yang kurasakan. Belengguku lepas dari tangan kaki dan hatiku. Aku bebas. Aku terlepas dari semua beban penderitaan yang kurasakan. TatapanNya itu membebaskanku. Aku merdeka! Ya... Pria itu mengubahku.

Magda, wanita cantik penggoda suami orang ini telah berubah mulai saat itu. Aku taklagi tertarik untuk menikmati hubungan dengan siapapun, sekaya apapun dia, semenarik apapun tubuhnya. Aku hanya tertarik untuk mengikutiNya. Pria yang membebaskan hatiku itu. Dan sejak itu aku mulai mencuri dengar setiap pelajaran yang disampaikanNya kepada 12 pria muridNya itu.

Aku taktahan untuk terusbersembunyi mengikutiNya. Aku ingin duduk di dekat kakiNya mendengarkan pengajaranNya tanpa harus sembunyi sembunyi. Maka suatu hari aku membawa sebuah buli buli pualam, yang berisi Narwastu yang sedianya akan kuberikan pada suamiku kelak. Aku mendengar Dia hendak singgah ke rumah seseorang di Betania. Aku datang, mengintip melalui lubang kunci pintu rumah itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline