Lihat ke Halaman Asli

M Irham Fathoni

Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Pajak

Original Sin Redux pada Penerbitan Obligasi Pemerintah

Diperbarui: 14 April 2020   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pemerintah sangat serius dalam melakukan penanganan COVID-19 di Indonesia. Total pendanaan yang digelontorkan Indonesia tidak main-main, yakni sebesar 2,5% dari total PDB Indonesia. Pendanaan COVID-19 di Indonesia diambil dari beberapa pos seperti Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp160 Triliun, dana yang disimpan di badan layanan umum (BLU) dan dana yang sebelumnya dialokasikan untuk penyertaan modal negara (PMN), realokasi dan refocusing anggaran yang diperkirakan jumlahnya mencapai Rp 54,6 triliun dan penerbitan obligasi pemerintah (Pandemic Bonds).

Ada hal yang cukup menarik dari penerbitan bonds yang dilakukan pemerintah, karena dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 disebutkan bahwa surat utang pemerintah tersebut memiliki klausul khusus, yaitu bisa dibeli langsung oleh Bank Indonesia (BI) di pasar perdana. Artinya pembiayaan atau utang pemerintah diberikan langsung oleh BI. Apakah langkah tersebut tepat? Langkah tersebut tepat karena apabila obligasi pemerintah hanya dijual ke pasar sekunder, kemungkinan pasar tidak akan menyerap seluruh obligasi yang ditawarkan dan justru menyebabkan suku bunga obligasi akan melonjak sangat tinggi. 

Opsi lainnya tetap dijual ke pasar sekunder dengan segmentasi investor asing yang lebih besar. Namun di kondisi yang sangat tidak stabil seperti ini justru akan berisiko untuk menjual obligasi pemerintah ke pihak asing dengan porsi yang besar, karena instabilitas ekonomi dapat dengan mudah menyebabkan capital outflow dan berujung adanya shock dalam perekonomian Indonesia. Terlebih ada tekanan eksternal melalui berbagai kebijakan yang diterapkan negara lain yang akan menyulitkan pembayaran di masa yang akan datang jika harus ditawarkan ke investor asing. Sehingga memperluas kepemilikan asing pada surat utang negara bukan opsi yang tepat saat ini, dan memang sudah seharusnya mulai untuk dikurangi dengan menumbuhkan kepercayaan investor dalam negeri agar mau berinvestasi pada obligasi pemerintah.

Jika membahas porsi kepemilikan asing yang tinggi pada obligasi pemerintah, terdapat sejarah panjang dibalik preferensi investasi tersebut. Beberapa dekade lalu, muncul istilah "Original Sin Redux" yang mendeskripsikan suatu kebijakan, dimana negara berkembang menerbitkan obligasi pemerintah dalam mata uang non-domestik atau dalam bentuk US Dollar. Strategi yang dilakukan negara berkembang tersebut sangat menarik bagi investor asing dalam melakukan pembelian obligasi dalam denominasi US Dollar, karena mereka akan lebih aman karena terhindar dari fluktuasi kerugian nilai tukar mata uang domestik. 

Namun permasalahan muncul saat krisis ekonomi terjadi di tahun 1997-1998, investor asing menjual seluruh kepemilikan obligasinya, menyebabkan nilai tukar mata uang domestik anjlok dan beban utang negara juga melonjak tajam karena US Dollar melonjak tajam terhadap nilai mata uang domestik. IMF di tahun tersebut mendesak negara berkembang untuk lebih prudensial dalam menerbitkan obligasi pemerintah, yakni dengan dalam mata uang domestic. Kebijakan tersebut diharapkan akan mengurangi kerentanan mereka terhadap perubahan pasar global yang saat itu dalam kondisi krisis.

Sejak saat itu, banyak negara berkembang yang mengikuti arahan IMF. Namun dalam beberapa tahun terakhir negara-negara seperti Brazil, Cina, Turki, India, dan Afrika Selatan walaupun telah memangkas ketergantungan mereka pada obligasi mata uang asing, faktanya hal tersebut tidak membuat negara-negara ini terhindar dari volatilitas. Sebaliknya, ketika spekulasi tentang pengetatan moneter Amerika digaungkan, harga surat utang turun tajam. Kenapa hal tersebut bisa terjadi meskipun penjualan obligasi pemerintah telah dilakukan menggunakan mata uang domestik?

Ketika IMF pertama kali mendesak negara-negara berkembang untuk menjual obligasi pemerintah menggunakan mata uang domestik, secara luas diasumsikan bahwa obligasi yang ditawarkan akan menarik sebagian besar investor dalam negeri. Faktanya dalam beberapa tahun terakhir, investor asing justru sangat berminat dengan obligasi negara berkembang karena Yield yang ditawarkan begitu kompetitif jika dibandingkan dengan instrument investasi lain. 

Mengacu pada data Asian bonds online, yield SUN Indonesia dengan tenor 10 tahun sebesar 7,89%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan yield sederet surat utang tenor yang sama milik negara lain seperti Filipina sebesar 6,26%, Vietnam 4,86%, Malaysia 4,07%, Tiongkok 3,15%, Thailand 2,37%, Singapura 2,15%, Korea Selatan 1,98%, Hong Kong 1,83% dan Jepang -0,01%. Sehingga tidak mengherankan jika porsi kepemilikan asing di SBN Indonesia diproyeksikan membesar menjadi 40% kedepannya dan saat ini porsi asing di SBN masih di kisaran 38,77%. Angka tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dengan porsi kepemilikan asing sebesar 23,4% pada Agustus 2018, Thailand 18,29% per November 2018, dan Korsel 12,02% pada akhir Juni 2018. Relatif tingginya porsi kepemilikan asing membuat pasar SBN Indonesia masih sangat rentan dengan guncangan asing seperti tidak seimbangnya demand dan supply valas domestik dalam aktivitas ekspor-impor, kenaikan bunga acuan Amerika dan Fed Fund Rate, terlebih pada situasi yang sulit seperti saat ini. Sudah saatnya, Indonesia mengurangi jumlah kepemilikan asing dan lebih fokus untuk menguatkan kepercayaan masyarakat Indonesia agar mau berinvestasi di obligasi pemerintah.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Hong Kong Monetary Authority (HKMA) (2019) dalam "The double-edged sword of foreign participation in local currency government bond markets" Research Memorandum 14/2019, dijelaskan konsekuensi dari ketergantungan pada modal asing mengarah pada kerentanan yang lebih besar terhadap guncangan keuangan global, karena modal seperti itu bisa mempengaruhi stabilitas pasar di masa resesi keuangan. Depresiasi yang terjadi pada nilai mata uang negara berkembang yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor ekonomi, selanjutnya menurunkan nilai aset dalam mata uang lokal investor asing. 

Ketika kapasitas risiko terbatas, depresiasi mata uang negara berkembang dapat memicu penjualan secara masif dan mendorong spread obligasi pemerintah karena keluarnya modal investor asing. Hal tersebut yang dapat dipertimbangkan, mengapa kebijakan BI saat ini untuk dapat membeli obligasi pemerintah di pasar primer sangat tepat. Karena saat ini seluruh dunia sedang mengalami masa-masa yang sulit sehingga perlu merumuskan kebijakan yang luar biasa untuk tetap menjaga perekonomian tetap stabil ditengah COVID-19 yang melanda dunia. Alih-alih menjualnya untuk investor asing karena diprediksi pasar dalam negeri sedang lesu, langkah yang tepat dengan membuat klausul khusus agar BI dapat membeli obligasi pemerintah di pasar primer.

Namun tidak berselang lama setelah penerbitan Perppu, Pemerintah Indonesia menerbitkan global bond sebesar USD4,3 miliar dalam 3 bentuk surat berharga global yaitu Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030, RI 1050, dan RI0470. Penerbitan global bond merupakan salah satu strategi pembiayaan APBN 2020 untuk menopang pembiayaan penanganan COVID-19 di Indonesia. Penerbitan global bond tersebut adalah penerbitan terbesar dalam sejarah penerbitan obligasi dengan denominasi US Dollar oleh Pemerintah Republik Indonesia dan saat ini Indonesia adalah yang pertama menerbitkan kembali obligasi dalam denominasi asing. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline