Lihat ke Halaman Asli

Evolusi dan Mesiu

Diperbarui: 21 Juli 2017   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : www.therecord.com.au

Membaca dan menyimak ceramahnya  Salman hameed Ph.D, seorang associate professor di hampshire university tentang evolusi, ada hal baru yang saya sadari. Prof hameed menjlaskan bahwa salah satu alasan kenapa muslim menolak evolusi adalah propaganda bahwa evolusi merupakan alat imperialisme dan kolonialisme barat di dunia, terutama di negara muslim. Kesalahpahaman korelasi antara evolusi dan kolonialisme tidak hanya merupakan opini yang absurd, tapi juga menyedihkan, mengingat propaganda evolusi sebagai alat kolonialisme justru dihembuskan oleh umat islam sendiri.

Mengapa argumen bahwa evolusi merupakan alat kolonialisme itu absurd?

Kolonialisme sudah ada sejak abad ke 16 masehi, terutama sejak penemuan dunia baru oleh columbus. Sedangkan evolusi, khususnya evolusi darwinian dan evolusi modern baru berkembang pada abad 19. Secara timeline sudah abusrd. Keabsurdan yang kedua, menyalahkan evolusi sebagai alat kolonialisme sama saja menyalahkan bubuk mesiu sebagai alat kolonialisme. Keduanya merupakan temuan manusia, yang satu bentuknya teori sains, yang satu lagi bentuknya benda. 

Kegunaan dan kemadaratan keduanya bergantung siapa yang memakai. Bubuk mesiu bisa digunakan untuk membebaskan constantinopel oleh Mehmet 2, tp juga bisa digunakan untuk membantai penduduk asli amerika seperti yg dilakukan columbus. Begitu pula dengan evolusi, evolusi di tangan org yg percaya tuhan akan menjadi jalan memahami bagaimana tuhan menciptakan makhluk hidup. Tp ditangan atheis, evolus bisa digunakan sebagai propaganda untuk menolak keberadaan tuhan.

Yang bikin saya sedih juga, bahwa yang mempropagandakan evolusi sebagai alat kolonialisme, justru orang islam sendiri. Sebut saja jamaluddin al afghani, seorang pengusung pan islamisme abad ke 19. Jamaluddin al afghani merupakan orang pertama yang menolak evolusi dengan alasan tersebut. 

Menariknya, jamaluddim al afghani juga mempropagandakan bahwa islam harus dipahami menggunakan sains dan nalar. Kedua pernyataan tersebut jelas kontradiktif, karena sebagai sains, evolusi juga harus dipahami dengan nalar bukan ditolak mentah-mentah karena dugaan sebagai alat kolonialisme. Beberapa tahun kemudian, jamaluddin al afghani didiskreditkan ilmuwan pada saat itu (beberapa juga dari kalangan muslim) karena dianggap tidak mengerti evolusi sama sekali. Pada akhirnya jamaluddin al afghani justru menerima kebenaran evolusi sebagai sains, meskipun blm bisa menerima terhadap evolusi manusia.

Menyedihkan jika mengingat bahwa di kalangan muslim, evolusi seringkali ditolak kbenarannya dengan narasi non sains. Bahkan justru mengada-ada. Menyebut evolusi sebagai dasar dari komunisme dan fasisme (adnan oktar), Menyebut evolusi sebagai pendorong ateisme (zakir naik dan adnan oktar), yang justru baik zakir naik dan adnan oktar, hemat saya, tidak mengerti sama sekali "apa itu evolusi".

Harusnya dikalangan muslim saat ini, terutama biologist-biologist muslim, yang mengerti dan memahami baik evolusi dan aqidah islam, ada yang menyadarkan kekeliruan dan kesalahpahaman muslim atas evolusi. Itu harus, dan tidak boleh tidak.

(Ditulis di Pemalang, dalam perjalanan jakarta-surabaya)

P.S maaf kalau banyak salah ketik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline