[caption id="attachment_196125" align="alignleft" width="230" caption="Copyright image"][/caption] Tak pernah terpikirkan oleh saya ketika pada akhirnya dapat menjajaki ruas jalanan kota jakarta setiap hari dengan segala hiruk pikuknya. Saat itu perjalanan Meruya - Jakarta Pusat ditempuh dengan waktu kurang lebih 1 jam, 14 Km dengan menggunakan sepeda motor. Ya, itulah masa 2 tahun saya menikmati pekerjaan sebagai seorang Sekertaris yang terus berpacu dengan lorong waktu, seolah semua aktifitas saya tak pernah ada habisnya. Pergi pagi pulang petang. Walau senang dengan pekerjaan yang saya tekuni serta kebaikan atasan yang selalu membuat saya kagum, saya tidak cukup puas dengan suasana itu, apalagi merasa nyaman. Tidak sama sekali. Resiko harus berpisah dengan putri tercinta di Bandung pun menjadi salah satu alasan ketidaknyaman ini. Akhirnya pada tahun 2007 saya resign dari pekerjaan saya dan memilih fokus pada keluarga tercinta. Nampaknya saya pun merasa ada yang tidak pas dengan keseharian di rumah. Bukan, bukan karena keberatan menjadi ibu rt dan hanya mengurus rumah saja, tapi saya betul-betul belum bisa berdiam diri tanpa kegiatan apa-apa. Artinya, saya berpikir bahwa saya harus tetap mencari kegiatan, tetap mengasah otak, bahkan kalau perlu yang menghasilkan dengan tingkat waktu yang fleksibel. Pada tahun 2009 saya pun mulai berbisnis dan mulai aktif kembali dalam dunia online. Tuntutan untuk bertemu dengan klien dan banyaknya kegiatan offline yang harus saya datangi dari satu tempat ke tempat lain bukanlah perkara yang mudah di tengah-tengah kemacetan Jakarta yang tak jarang membuat emosi meningkat. Hal ini disebabkan ketidakseimbangan antara peningkatan kendaraan 8% per tahun dan peningkatan ruas jalan yang hanya 1,8% per tahun (Sumber). Tentu saja kemacetan jakarta bukanlah hanya menjadi PR pemprov DKI, melainkan harus ada peran serta masyarakat yang peduli. Terlebih lagi dari sudut pandang perempuan seperti saya, kenyamanan menjadi faktor utama di tengah-tengah kemacetan. Betapa sedih dan miris hati saya ketika mendengar kasus percobaan pemerkosaan dalam angkutan umum pada bulan Januari dan Juli lalu, bisa dibayangkan betapa panik dan ketakutan seorang perempuan yang terjebak dalam tangan-tangan biadab. Naudzubillah, semoga saya dijauhkan dari hal-hal seperti itu ya, aamiin. Namun dengan kondisi seperti itu, Jakarta tetaplah kota impian bagi semua orang yang ingin merubah nasib atau mencari pengalaman. Semenjak pindah ke Jakarta 2006 lalu, dan akhirnya sekarang bermukim di wilayah Bekasi, ada yang berbeda dari setiap sudut hiruk pikuk jakarta. Dimana, di dalamnya selalu memberikan saya sebuah optimisme, sebuah tantangan yang mampu membuat setiap individu berpacu dengan kota metropolis ini. Dan Jika dari setiap individu mampu bertahan serta memadukannya dengan visi misi pemerintah, tentunya Jakarta akan tetap menjadi harapan bagi semua orang. Tinggal meneruskan program-program yang sudah ada saja. Toh sudah banyak contoh kasus, bahwa setiap perubahan atau pemimpin baru pun belum tentu dapat langsung merealisasikan programnya, semua butuh proses, betul? Sayangnya, karakter penduduk Indonesia itu sangat rentan dengan isu-isu hangat, sangat mudah terintimidasi media. Memang, untuk memperbaiki infrastruktur dari setiap belahan Jakarta, tidaklah mudah. Namun saya pribadi masih punya harapan pada sosok Gubernur DKI terdahulu. Pengabdiannya di pemprov DKI selama belasan tahun hingga akhirnya pada tahun 2010 terpilih menjadi Presiden Serikat Kota dan Pemerintah Daerah Asia Pasifik atau United Cities and Local Government (UCLG), saya rasa Jakarta akan lebih tepat di bawah arahannya. Sekali lagi, tinggal meneruskan yang sudah ada, seperti: Pengendalian banjir di wilayah Timur Jakarta salah satu bentuk kerja nyata yang dihasilkan hingga menekan arus banjir sampai 40%. Belum lagi layanan busway yang juga menjadi sahabat saya dalam beberapa waktu, ditambah lagi pembangunan fly over di berbagai tempat yang sangat terlihat kinerjanya. Setidaknya dengan program berjalan itu, kemacetan di Jakarta berkurang 10% (sumber). Masih kurang kah? Tentu.... sebagai manusia yang tak pernah puas, kita selalu saja merasa kurang. Padahal banyak hal-hal kecil yang juga yang bisa dijadikan bukti nyata tanpa perlu terlalu banyak gembar gembor di media demi sebuah pencitraan. Masih berkaitan dengan pandangan dari seorang perempuan, beberapa waktu lalu saya sempat mendengar wawancara Bapak Nachrowi Ramli, salah salah cawagub Jakarta di sebuah statsiun radio wanita. Beliau mengatakan bahwa perempuan itu makhluk istimewa dan layak mendapatkan perlindungan, serta kenyamanan. Oleh karenanya, program perbaikan infrastruktur terutama yang berkaitan dengan angkutan umum ini menjadi salah satu yang akan diupayakan oleh beliau. Termasuk meminimalisasi kejahatan yang marak terjadi dimana perempuan adalah sasaran empuk para kriminalis. Jujur saja, saya sedikit lega mendengar apa yang disampaikan beliau. Setidaknya kembali pada bahasan atas, Jakarta selalu memberikan harapan dan optimisme, salah satunya dalam sebuah perubahan, asal semua program itu berada dalam arahan pimpinan yang tepat. Bisakah beliau membuktikannya? Lebih baik optimis daripada tidak ada harapan sama sekali. Semoga saja harapan kaum perempuan bisa terealisasi, Jakarta bebas macet, Jakarta nyaman dambaan perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H