Lihat ke Halaman Asli

Catatan Hati untuk Bapak

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini saya sampai di rumah cukup larut, ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Pekerjaan? Ya tentu saja. Babap tak pernah marah karena saya pulang larut, karena biasanya saya sudah memberitahukan minimal 2 jam sebelumnya bahwa saya akan pulang telat. Tapi apakah dengan begitu beliau tidak khawatir? Tentu saja iya. Namun sekali lagi, ia tak pernah sekalipun memarahi saya, dan jujur saja justru dengan begitu saya amat sangat merasa bersalah jadinya.

Seisi rumah sudah terlelap, termasuk Babap, tertidur pulas di ruang tengah menunggu anak bungsunya pulang. Tiba-tiba haru sekali rasanya, dalam balutan malam yang hening saya terdiam, memandangi Babap yang tertidur pulas. Garis wajahnya seperti lelah, namun tak pernah sedikitpun saya dengar keluhan diucapkan olehnya. Tiba-tiba saya merasa ingin sekali memeluknya (yang sedang tertidur lelap itu), mengatakan padanya bahwa saya sungguh sangat menyayanginya, memohon maaf karena saya belumlah dapat memberi hal-hal terbaik untuknya.

Babap tak pernah menuntut apapun dari saya, tak pernah meminta apapun dari saya, membiarkan saya memilih apa yang ingin saya pilih, selalu mendukung apapun cita-cita dan mimpi saya walaupun terkadang mungkin itu berat untuknya. Babap tak pernah komplain dengan sikap idealis saya yang terkadang tidak realistis. Tapi itulah Babap, selalu luar biasa mendukung dan membuat saya yakin bahwa semua mimpi itu akan dapat diwujudkan.

Kali ini saya ingin sedikit bernostalgia, mengenang masa-masa indah bersama babap. Saya masih ingat, ketika babap menjemput saya pada saat sekolah dasar. Sepulang bekerja, dalam kondisi lelah tentunya, dan di tengah hujan lebat, Babap menunggu di luar kelas, dengan payung di tangan menunggu saya keluar kelas lalu pulang bersamanya. Dan sayapun masih ingat ketika Babap berusaha sekuat tenaga membuatkan saya sebuah ‘katapel’ karena saya terus menerus merengek meminta katapel supaya bisa bermain dengan teman-teman yang lain. Saya masih ingat pula dengan jelas, saat Babap membeli koran pagi-pagi, hanya untuk melihat nama saya tercantum dalam daftar nama-nama yang lulus SPMB. Saya masih ingat ketika Babap sudah bangun dan bersiap sejak pukul 04.00 shubuh hanya untuk mengantar saya yang pada saat itu tengah mengikuti Ospek. Saya juga masih ingat ketika Babap membuka pintu kamar saya dan bertanya “belum tidur?” ketika saya tengah menunggu beratus2 lembar skripsi selesai di-print. Saya masih ingat, ketika mata Babap berkaca-kaca melihat saya memakai toga. Dan sayapun masih ingat ketika bulan lalu maag kronis saya kambuh dan saya collaps, di tengah perjalanan menuju UGD Babap memeluk saya erat dan berkata “harus kuat!seperti kamu yang biasanya kuat!harus kuat!”. Saya masih ingat semua itu...

Saya masih ingat semua masa-masa itu, dan saya pun akan terus mengingat bahwa malam ini saya duduk di depan Babap yang tengah tertidur pulas, memandangi wajahnya, dan berjanji bahwa saya akan membuatnya bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline