Penulis: Miranda Juniar Putri (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta, 20200110300010)
Menjelang musim politik 2024 jagat maya selalu diramaikan dengan pembahasan politik identitas. Tak sedikit yang mengatakan bahwa gerakan politik identitas merupakan gerakan yang dimotori oleh elit politik yang mengancam kesatuan persatuan suatu Negara. Lalu apakah sebenarnya politik identitas itu? Kapan politik identias itu terjadi? Dan seperti apa contohnya?
Memahami politik identitas tidak sama dengan identitas politik. Karena identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik (Setyaningrum, 2005: 19).
Mengutip dari laman Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr M Arskal Salim GP menyebutkan politik identitas dalam bidang Ilmu Sosial dan Humaniora dimaknai sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik, dan ideologi politik. Umumnya digunakan atau dimanfaatkan oleh kaum minoritas atau marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan.
Yang artinya politik identitas bukanlah suatu masalah, terdapat nilai positif ataupun negatif tergantung letak penggunaannya. Karena pada dasarnya politik identitas dapat dikatakan bahaya apabila "dimanipulasi" dan "dieksploitasi" sedemikian rupa secara berlebihan untuk kepentingan politik yang sempit. Padahal bila kita berkaca pada geografis Indonesia, Negara ini merupakan negara yang memiliki ciri multikultural. Yakni, hubungan kultural antara satu suku dengan suku lainnya juga terjalin kuat. Oleh karena itu, satu identitas memiliki keterkaitan dengan identitas lainnya. Selian itu, dengan keberagaman suku, ras, budaya, maupun agama membuat negara ini tidak dapat terlepas dari gerakan politik identitas.
Menurut hasil sensus penduduk pada tahun 2022 jumlah individu di Indonesia sebanyak 273 juta penduduk yang mana sebesar 135.576.278 jiwa atau 49,5 persen merupakan penduduk perempuan. Sementara itu jika mengambil data untuk seluruh dunia, populasi wanita mencapai 54,19% atau sekitar 15.788.000 jiwa yang mana diartikan sebagai wanita memiliki populasi paling banyak daripada laki-laki. Tetapi pada poin identitas politik masih sangat jauh dari kata maksimal. Faktanya, pencapaian kondisi dan posisi perempuan tampak lebih rendah dibanding beberapa negara Asia Tenggara.
Pembahasan mengenai keikutsertaan perempuan dalam aktivitas politik sangat identik dengan identitas gender. Politik identitas sebagai penandaan aktivitas politik, hal itu diutarakan oleh Heyes dengan arti yang lebih luas dan teorisasi terdapat perlakuan ketidakadilan yang dirasakan oleh anggota dari kelompok sosial tertentu termasuk identifikasi ras dan gender. Perjuangan perempuan untuk bisa masuk dalam sebuah bangunan politik membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sejarah politik kaum perempuan bukanlah monumen yang tegak dan tak bergerak, sejarah perempuan bukan pula bangunan yang statis memijak bumi. Keadaan seperti ini pada perkembangannya mengalami peningkatan secara bertahap terutama setelah apa yang telah dilakukan oleh kaum feminis radikal dalam membongkar keadaan terselubung politik yang telah diciptakan oleh kaum laki-laki. Kaum feminis radikal sendiri terkenal dengan slogannya yakni the personal is political (Oxford Reading in Feminism, Feminism, The Public and The Private) disini Persoalan yang diangkat bukan tentang hak untuk memilih tetapi lebih radikal dalam keberadaan politik yang selalu terselubung, yakni persoalan penindasan terhadap perempuan di ruang privat sehingga perempuan tidak diberikan tempat atau peran dalam ruang politik.
Hal tersebut dibenarkan pernyataan dari salah satu anggota partai politik yakni PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Pada tahun 2019, PSI membawa kepentingan perempuan pada Pemilihan Legislatif 2019, penyebabnya adalah keterwakilan perempuan di parlemen masih rendah yakni hanya 17,5 persen dari total keseluruhan anggota parlemen yang mencapai 560 anggota. Sehingga, menunjukkan bahwa keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen belum tercapai. Selain itu gagal masuknya kepentingan perempuan dalam perumusan kebijakan, melihat kejadian tersebut, mau tidak mau apabila gerakan perempuan di ranah politik mau tergubris maka perempuan mempunyai tantangan untuk memenangkan jumlah kursi di legislatif. Dengan kata lain, semakin banyak perempuan anggota DPR-RI yang duduk dalam posisi strategis akan memberi pengaruh cukup signifikan terhadap alur perkembangan perjuangan perempuan di Indonesia. Bila terdapat cukup banyak perempuan menempati posisi strategis di berbagai fraksi, komisi, panita kerja, dan Badan Legislasi, mereka tentu akan memiliki banyak peluang dalam mengatur jadwal, memasukkan isu dan kepentingan perempuan, serta mengatur prioritas RUU yang akan dibahas. Maka dari itu, PSI berinisiatif mengedepankan kepentingan perempuan. Misalnya, soal pendewasaan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan PSI juga mendorong undang-undang penghapusan kekerasan seksual menjadi program legislasi nasional (prolegnas) di Parlemen.
Daftar Pustaka
Kiftiyah, A. (2019). Upaya rekonsiliasi politik identitas pasca pelaksanaan pemilu 2019 di Indonesia. Jurnal Analis Kebijakan, 3(1).