Lihat ke Halaman Asli

Mira Marsellia

penulis kala senggang dan waktu sedang luang

Thai Girl Show .. Dear, Bukan Tiger Show

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13450196961379802372

Ini cerita liburan akhir tahun saya beberapa waktu lalu. Banyak acara jalan-jalan saya sebetulnya bukan acara yang direncanakan. Kebanyakan adalah spontanitas, intimidasi teman, atau tugas kantor yang terkontaminasi acara wisata. Kalau yang direncanakan sih biasanya dengan suami dan anak-anak. Biasanya malah diisi acara pulang ke desa. Nah untuk liburan akhir tahun ini adalah ajakan beberapa teman di kantor. Yang rupanya punya jargon "engga ada lo ga rame" yang diterapkan kepada saya, namun menjadi "engga ada lo engga rame karena ga ada yang bisa diledek", kira-kira seperti itu sangkaan tak berdasar saya pada teman-teman. Intimidasi ajakan berlibur bersama teman ini biasanya ditambahi dengan pinjaman dana apabila alasan penolakan saya adalah sesuatu yang klasik seperti "engga ada duit, euy". Mengharukan sebetulnya. Apalagi bila pinjaman ditambah embel-embel, bayarnya kapan-kapan saja. Ajakan berlibur 3 hari ini adalah ke Thailand. Seperti biasa, saya sulit menolak, kebetulan tiket pesawatnya promo, dan lain-lain hal seperti akomodasi dan transportasi sudah diurus teman yang menjadi ketua panitia dadakan. Di hari yang ditentukan kami pergi ke Bandara Soekarno Hatta (saya tidak suka menyingkat menjadi Soeta, karena kesan penghargaan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta rasanya mengalami penurunan makna). Teman satu perusahaan saya ada enam orang, lalu tiga orang teman juga yang bekerja dari suatu majalah ternama di Indonesia, seorang artis penyanyi yang lumayan kondang (ini yang saya bingung, kok ada dalam rombongan, ternyata saudaranya teman dari teman saya), dan teman-teman sang artis yang saya tidak kenal. Kami pergi berlimabelas. [caption id="attachment_200365" align="alignleft" width="300" caption="Berfoto di Suvarnabhumi. Dok. Pribadi"][/caption] Bandara yang Terang Benderang Pesawat berangkat sore hari menuju Bandara Suvarnabhumi (tulisan dalam bahasa Thai: ท่าอากาศยานสุวรรณภูมิ) Bangkok. Suvarnabhumi adalah bahasa Sansekerta, berarti Golden Land atau Tanah Emas. Kalau melihat bentuk hurufnya  menurut saya agak mirip-mirip dengan tulisan dengan huruf Hanacaraka pada prasasti Kawali di kampung saya di Ciamis yang indah permai itu. Kami tiba malam hari sekitar jam delapan. Saya terkagum-kagum pada bandara yang tergolong baru ini. Megah dan terang benderang. Menurut wikipedia, Bandara Suvarnabhumi adalah Bandara kedua yang paling banyak diambil fotonya dengan aplikasi Instagram di tahun 2011. Bandara ini merupakan bandara paling sibuk di Thailand, dan keenam tersibuk di Asia. Indonesia di urutan keempat. Bandara internasional ini sudah direncanakan dari tahun 1960, dan pada tahun 1973 lahan seluas 32km persegi telah dibeli dan dibebaskan untuk penempatan bandara yang megah ini. Namun demonstrasi, situasi politik, kondisi ekonomi dan krisis ekonomi yang melanda Asia di tahun 1997, sampai akhirnya setelah pembangunan yang banyak memakan waktu dan biaya ini, Bandara Suvarnabhumi di 28 September 2006  resmi dibuka. Emerald Temple dan Grand Palace Semalam kami makan di restoran muslim yang menyajikan makanan khas Thailand yang banyak dikenal di Indonesia. Tom Yam, Ayam bungkus pandan, dan aneka ikan. Rupanya sup sea food atau ayam khas Thailand yang berawalan Tom itu selalu dan selalu kami temukan dalam setiap menu yang terhidang di 4 hari 3 malam kami berada di Thailand. Rasanya memang segar, berempah dan masam. Namun menurut saya rasanya lebih masam dibanding yang saya sering temukan di restoran di Indonesia. Jadi di hari-hari berikutnya saya hampir menyerah untuk menyantap sup asam pedas ala Thai ini di setiap jam makan. [caption id="attachment_200376" align="aligncenter" width="300" caption="Grand Palace. Dok Pribadi"]

13450245402109754257

[/caption]

Jadwal kami hari pertama ini berkunjung ke Istana Kerajaan dan Emerald Temple. Udara hangat, bahkan cenderung panas, seperti Jakarta, matahari cerah dan langit jernih. Di kios yang saya lewati menuju istana, saya membeli topi saking kepanasan. Bukan topi lebar. Tapi saya membeli model Fedora. Biar gaya.

Pengunjung ramai di kompleks istana ini. Istananya berupa bangunan tradisional dan bangunan terpisah lainnya model kolonial. Atap istana disaput emas, tampak berkilauan dari kejauhan. Kami menuju Wat Phra Kaeo, bangunan dimana terdapat Emerald Budha. Patung Buddha ini berwarna hijau tua terbuat dari batu jadeite, dengan tinggi sekitar 45cm. Berpakaian dari emas, yang diganti oleh Raja atau yang ditunjuk, dengan pakaian yang disesuaikan dengan tiga musim di Thailand, musim panas, musim hujan, dan musim sejuk. Nama resmi patung Buddha tersebut  Phra Phuttha Maha Mani Rattana Patimakon. Semua orang yang masuk ruangan ibadah ini harus menanggalkan topi dan melepas alas kaki. Banyak orang yang melantunkan litani dan berdoa disini.

13450244611020286925

Di ruang penobatan tampak foto penobatan Raja Bhumibol Adulyadej yang naik tahta di usia 19 tahun. Raja Bhumibol Adulyadej dari dinasti Chakri yang bergelar Raja Rama IX ini merupakan raja yang memegang tampuk kekuasaan terlama dari tahun 1946 , jadi telah lebih dari 60 tahun. Melihat foto-foto kerajaan ini saya jadi teringat film Anna and The King. Sebuah film yang dimainkan oleh Jodie Foster dan Chow Yun Fat sebagai Raja Rama IV walaupun dalam film itu digunakan nama lain, yaitu Raja Mongkut. [caption id="attachment_200373" align="aligncenter" width="432" caption="King Rama IX coronation. Source: http://en.wikipedia.org/wiki/Bhumibol_Adulyadej"]

134502435442849568

[/caption] Setelah berfoto dan melihat-lihat ornamen istana yang rumit dan indah, saya asyik melihat mural yang mengisahkan cerita Ramayana. Lukisan ini besar dan panjang sekali. Konon merupakan lukisan dinding terbesar di dunia. Di kompleks istana yang berarsitektur kolonial Eropa ini, tampak penjaga yang seragamnya pun mirip tentara Inggris, minus topi hitam tinggi yang unik itu tapi. Perjalanan lalu berlanjut. Kami menyusuri pasar tradisional yang suasananya mirip dengan pasar di Indonesia, namun dengan bahasa yang tidak sepatah pun saya mengerti. Kalau ingin beli sesuatu, misalnya air kelapa bakar yang dingin dan segar, saya menggunakan bahasa paling universal di dunia. Bahasa tubuh. Efektif sekali. Saya dan pedagang kaki lima bahkan bisa tertawa-tawa untuk  pertukaran lelucon yang kami bahkan satu sama lain tidak mengerti sebenarnya. Bahasa tubuh ini sangat berhasil, kecuali saya sama sekali tidak bisa tawar menawar. Paling hanya dengan menggeleng dan mengangguk. Menelusur jalanan di Bangkok kami sampai di pinggir sungai Chao Praya, dimana banyak pedagang di perahu. Pasar terapung. Karena buru-buru mengejar perahu untuk kami yang akan menelusur sungai, saya jadi tak sempat motret-motret disitu. Di perahu kami memberi makan ikan-ikan di sungai dengan roti yang dijual disana. Ikannya rakus dan jinak. Saya kagum, sungai tampak bersih, airnya cukup jernih dan tanpa sampah berarti. Beda banget dengan sungai-sungai di perkotaan Indonesia yang luar biasa kotor dan joroknya. Untuk menggambarkannya saja saya tidak tega menulisnya, karena miris memikirkan nasib-nasib sungai yang tercemar di  negara sendiri. [caption id="attachment_200382" align="aligncenter" width="524" caption="Wat Arun. Dok. Pribadi"]

1345029274919895045

[/caption] Menyusuri sungai tampak bangunan istana yang megah dari kejauhan. Sungai cukup lebar dan banyak juga diarungi oleh perahu-perahu yang lumayan besar. Kalau kita sih menggunakan perahu kayu bermotor. Tongkang mungkin ya namanya. Kami menuju Wat Arun Temple, sebuah kuil Buddha, Wat Arun berarti Kuil Embun. Dinamakan berdasarkan nama Dewa dalam mitologi India, Aruna, sang dewa embun. Untuk penggemar fotografi. Wat Arun adalah landmark yang menarik untuk dijepret. Apalagi dilatar belakangi pemandangan sungai. Puncak yang tinggi dari kuil tersebut adalah lambang dari Gunung Meru, gunung tertinggi sebagai pusat dari alam semesta dalam mitologi India. Gunung Agung di Bali, dan Gunung Semeru di Jawa Timur dalam mitos kepercayaan dianggap sebagai pecahan dari Gunung Meru tersebut. Pertunjukan Macan di Pattaya Kami melanjutkan perjalanan ke Pattaya, kota pariwisata di sebelah tenggara dari kota Bangkok, di jalan kami ditawari oleh tour guide kami, apakah ada yang ingin menonton Taiger Show, demikian kira-kira yang saya dengar. Saya pikir pertunjukkan yang melibatkan binatang bernama macan atau harimau. Saya sendiri kurang tertarik. Tapi guide dan teman yang pernah ke Pattaya mengatakan, kalau ke Pattaya engga nonton Taiger Show sama aja engga ke Pattaya. Akhirnya saya menyetujui bersama teman-teman lain. Kalau teman-teman pria malah tidak ada yang mau nonton. Selain Taiger Show, kami pun akan menonton pertunjukan kabaret yang terkenal. Transgender Thailand terkenal cantik-cantik. Pertunjukan kabaret oleh transgender ini adalah salah satu yang diminati untuk ditonton. [caption id="attachment_200393" align="alignleft" width="300" caption="Hardrock Pattaya. Dok Pribadi"]

1345034991854553772

[/caption] Awalnya Pattaya adalah desa nelayan kecil, sampai pada tahun 1960 saat Amerika karena perang Vietnam menjadikannya tempat untuk R dan R. Rest and Relaxation. Banyak Go Go Bar dan tempat hiburan yang berkembang pesat karenanya. Suasana di Pattaya, boleh saya katakan beberapa tempat berkesan kumuh, ada banyak bangunan yang tidak teratur, tempat-tempat makan dan minum yang sederhana,  dan terlihat  banyak sekali wanita (atau bukan wanita asli, saya tidak bisa membedakan) yang berpakaian minim.  Hotel dari yang murah sampai yang mahal terdapat di kota di teluk Thailand ini. Tercatat di tahun 2001, 24.000 kamar hotel tersedia di Pattaya. Pasar malam dan kaki lima tampak ramai. Suvenir khas Thailand banyak dijual dimana-mana.Gantungan kunci, pernak-pernik perhiasan dan berbagai barang kerajinan lainnya, serta ukiran dan pakaian, banyak mengingatkan saya pada suasana di Kuta. Belum lagi di depan setiap rumah dan bangunan disana memang banyak terdapat sesajian dan dupa yang diletakkan dalam bentuk bangunan kecil, sebagaimana di Bali juga. Kami membayar untuk pertunjukan sekitar beberapa ratus ribu rupiah, saya lupa persisnya. Tempat yang katanya untuk Taiger Show ini berupa bangunan yang bisa dibilang sederhana saja, tampak gelap. Di depannya banyak pedagang dalam dorongan, ada yang menjual serangga goreng, macam jangkrik, belalang dan sebagainya. Masuk ke pertunjukan kami berlima, perempuan semua. Banyak sekali wisatawan kulit putih di Pattaya ini. Di jalan dan dimana-mana, seolah ini bukan di Asia saja. Masuk ke tempat pertunjukkan kami tidak boleh membawa kamera dan handphone, semua harus dititipkan. Kami duduk di bangku-bangku plastik berjejer, suasana remang-remang. Hanya panggung saja yang ada lampunya. Pertunjukan pun dimulai. Wah, ternyata bukan macan ya yang tampil, tapi perempuan. Ternyata saya salah dengar rek! Bukan Tiger, tapi Thai Girl. Lah yang bilang juga tidak jelas sih mengucapkan Thai Girl dan Tiger. Saya garuk-garuk kepala jadinya. Lagian saya naif banget, sampai tidak bertanya kepada teman kiri kanan, apa yang dimaksud dengan Thai Girl Show ini. Menit-menit berlalu dengan tegang. Pertunjukan ini boleh dibilang debus kalau di masyarakat Banten mah, karena melibatkan silet dan benda-benda tajam lainnya. Termasuk beling dan kaca. Hanya saja dalam pertunjukan ini pakaian yang dikenakan sangat minim, kalau bisa dibilang malah tidak ada sama sekali. Kami berlima berpandangan dalam gelap. Pertunjukan ini katanya berlangsung satu jam. Nanti bergiliran penonton yang lain akan masuk. Namun ternyata kami di dalam hanya mampu bertahan sepuluh atau lima belas menit saja. Itupun kebanyakan bengong saja tanpa bertepuk tangan. Akhirnya kami keluar, dan nyengir satu sama lain. Hehehe bukan macan ternyata. Bahkan tidak ada seekor pun macan terlibat. Lalu kami menonton kabaret yang disebut sebagai Alcazar Show. Sebetulnya ada beberapa gedung pertunjukan yang sejenis, namun kata sahibul hikayat, pertunjukan yang akan kami tonton adalah yang terbaik dengan para transgender yang terkenal cantik-cantik. [caption id="attachment_200391" align="aligncenter" width="744" caption="Pertunjukan Kabaret Patayya. Dok Pribadi"]

13450343982146385716

[/caption] Ternyata benar, mereka cantik-cantik sekali. Yang paling cantik, menari atau menyanyi di depan. Ke belakang yang kurang cantik, dan yang paling belakang rupanya yang operasi permak wajahnya gagal. Tidak hanya wajah, tubuh mereka pun sulit dibedakan dari wanita asli. Bahkan ada yang wajahnya mirip Siti Nurhaliza, dan tidak tanggung-tanggung, diapun menyanyi (entah lipsinc) lagu Siti, Cindai. Saya katakan bahwa pertunjukan ini menarik sekali. Tariannya bagus, humornya dapat diterima, dan tidak ada perempuan atau setengah perempuan yang tampil tidak dengan pakaian. Kecuali ada juga sih cerita tentang patung-patung yang hidup, tapi tidak kentara juga nudity-nya karena setengah tubuh mereka dilapis cat warna emas dan tembaga. Malam itu berlalu dengan meriah. Bubar pertunjukan, kami bisa berfoto dengan para penari dan penyanyi di pelataran luar. Baju mereka glamour dan extravaganza. Kami membayar sekitar limapuluh ribu rupiah untuk difoto bareng. Saya tercengang melihat mereka dari dekat. Kulitnya tampak mulus dan halus, make up nya bagus sekali dan dipakai dengan riasan yang sempurna tidak berlebihan. Bentuk tubuh dan struktur tulangnya juga benar-benar mirip model. Saya yang perempuan saja rasanya kalah huhuy dengan mereka. Luar biasa. Kok bisa begitu ya? Di perjalanan pulang kami sempat mampir ke peternakan lebah dan membeli madu dan bee pollen disana. Disana terdapat foto-foto wall of fame dari artis-artis yang pernah mampir, lokal maupun negeri jiran. Banyak juga artis Indonesia yang fotonya nempel disana plus tandatangan. Berhubung kami pergi dengan artis juga, dia kami daulat untuk berfoto juga dan meninggalkan tandatangan disana. Selain itu kami pun ke lokasi pusat pertunjukan disana, dimana kita bisa melihat pertunjukan gajah, tarian tradisional, dan thai boxing dalam satu area. Pasar Tradisional pun Menjadi Tujuan Wisata Beberapa hari di Thailand, disela-sela perjalanan, selalu ada jadwal mengunjungi pasar tradisional dan pasar seni di Bangkok. Yang terkenal adalah Suan Lum Night Market dan Chatuchak. Di dekat Wat Arun Temple juga ada pasar yang menjual berbagai souvenir khas Thailand.  Pasar-pasar ini dikelola dengan baik, di areal yang sangat luas dengan tempat parkir yang memadai untuk bis besar maupun kecil. Bangkok terkenal macet seperti Jakarta. Tapi saat kami berada disana, dapat dibilang kami tidak menemui kemacetan berarti. Masih dalam batas macet yang bisa ditolerir. [caption id="attachment_200484" align="aligncenter" width="524" caption="Chao Praya River. Dok Pribadi"]

13450824011280625826

[/caption] Chatuchak Week End Market adalah pasar yang menempati area yang sangat besar.  Menempati areal sekitar 27 acres dan memuat 15.000 kios. Dikarenakan Chatuchak ini adalah 'pasar sagala aya' alias pasar tradisional serba ada dengan harga yang dapat ditawar, (namun sulit juga tawar menawar karena rata-rata jarang pedagang yang lancar berbahasa Inggris. Entah bahasa Inggris saya juga yang jelek. Sehingga sering tidak nyambung) menjadikan Chatuchak adalah tujuan wisata belanja yang utama. Saya yang tidak banyak berbelanja, berjalan sampai lelah dari ujung ke ujung chatuchak, menyusuri panjang dan lebarnya Chatuchak, juga melintas diagonal, bahkan melipir di pinggirannya. Saya senang melihat-lihat. Benar-benar pasar segala ada. Chatuchak terbagi menjadi 27 sections, meliputi barang kesenian, dari pernak-pernik sampai perabot besar-besar, pakaian dan segala asesorisnya, peralatan rumah tangga, mainan anak, sepatu sandal, peralatan berkebun dan perkakas, sampai dengan ayam hidup, anjing, dan kelinci, juga tanaman dan anggrek. Belum lagi kios-kios makanan. [caption id="attachment_200485" align="aligncenter" width="524" caption="Warna-warni di Pasar. Dok Pribadi"]

1345082557426651634

[/caption] Kios makanan meruap dengan berbagai makanan tradisional dan kue-kue, diantaranya seperti yang kita kenal sebagai kue apem, kue lumpur, bika, lapis, dan ali agrem. Berbagai makanan olahan hasil laut baik yang digoreng maupun entah diapakan tampak  bertumpuk menguarkan bau harum. Saya menikmati sotong yang diiris diberi bumbu kecap ikan yang asin dan pedas dengan banyak cabe rawit, bawang merah, daun jeruk, dan sereh. Rasanya gurih, segar, dan tentu saja pedas. Saya mencatat bahwa pemerintah Thailand rupanya sangat peduli terhadap komoditi pariwisata. Apapun menjadi daya jual yang menarik kepada turis mancanegara. Diluar tempat pariwisata yang agak miring seperti di Pattaya, masih banyak tempat wisata lain yang memang dikelola dengan baik (children safe juga) dan mempertunjukan budaya dan kesenian khas Thailand. Menjadikan Thailand tempat wisata dengan berbagai tujuan. Wisata belanja, wisata budaya, wisata alam, atau wisata dalam tanda kutip. Melihat hali ini, terutama yang saya sangat sayangkan, dalam hal makanan saja misalnya, Thailand banyak mengungguli Indonesia dalam hal memproduksi hasil bumi untuk diekspor. Indonesia sebagai negara tetangga ini, tak dipungkiri banyak dibanjiri produk Thailand, lihat saja di supermarket. Kelapa, beras, buah asam, jambu air, mangga, duku, jus manggis, dan tak terhitung lainnya, banyak menjadi barang impor di negara kita. Padahal semua yang saya sebutkan tadi semua dapat diproduksi oleh kita sendiri. Mengapa?



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline