Lihat ke Halaman Asli

Mira Marsellia

penulis kala senggang dan waktu sedang luang

Mang Epul, Tukang Cukur Antik nan Nyentrik

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mang Epul

Bicara soal tukang cukur, saya jadi teringat film yang dibintangi Johnny Depp dan Helena Bonham Carter yaitu Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street yang dikemas cantik oleh sutradara kawakan Tim Burton. Tapi disini saya tidak akan membicarakan film keren tersebut. Tapi tentang tukang cukur langganan. Kalau rata-rata rekan kerja saya di kantor punya langganan salon untuk perawatan dan sekaligus hairdressernya di tempat-tempat ternama misalnya Johnny Andrean, Yopie Salon, atau Martha Tilaar, atau Ananta kalau di kota Bandung, maka saya juga punya. Tapi bukan salon ternama. Salon langganan saya namanya Salon Diana, letaknya sepelemparan batu dari komplek saya tinggal, depan gang Saluyu, daerah Cijerah Bandung. Salon Diana tidak punya pegawai. Hanya ada Mang Epul dan istrinya yang berjualan di warung depan salonnya, yang berkursi hanya untuk dua orang pelanggan. Itupun tidak bisa dua orang sekaligus, karena dari mencuci rambut, memotong, mengeringkan, sampai mengecat rambut itu semua Mang Epul yang kerjakan sendiri. Saya pernah tanya di suatu kesempatan, kok tidak punya asisten. Jawab Mang Epul karena semua pelanggannya tidak ada yang mau dilayani oleh asisten semua harus dikerjakan oleh Mang Epul sendiri. Jadi akhirnya sang asisten diberhentikan dengan hormat. Salon Diana ini ukuran ruangnya sekitar 6x4 meter, ada dua cermin dan dua kursi untuk pelanggan, sebuah kulkas dengan pintu yang karatan di pojok berisi minuman dingin, sebuah boneka berhias gaun manik-manik yang saya tebak buatan istrinya tampak menjadi hiasan di meja kecil. Lemari yang menempel di dinding berisi macam-macam merk obat pewarna rambut dan pelurus dan pengeriting rambut. Juga krim untuk creambath. Lalu ada kursi yang tiduran untuk cuci rambut. Airnya dari ember dengan gayung. Kalau ingin air panas untuk cuci rambut, istri mang Epul akan merebusnya dulu di dapur belakang. Ada sofa kecil dari kulit imitasi tempat pelanggan duduk mengantri. Dindingnya bercat oranye terang dengan gantungan kalender, juga hiasan cross stitch gambar singa dan bunga, yang saya tebak buatan istrinya juga. Selain tempatnya yang kurang apik,  sempit, lagi pula kurang  menarik, orang yang selewatan tidak akan menganggap Salon Diana punya kelebihan. Apalagi mang Epul sering menghilang. Kalau bosan mencukur rambut atau meluruskan rambut, atau mengeriting rambut (manusia memang banyak maunya soal rambut ya?), Mang Epul akan pergi memancing. Jadwal memancingnya pun kurang jelas. Biasanya hari Rabu, tapi bisa juga hari lain dimana sempat dan saat rasa bosannya dalam mencukur menyeruak. Saya sekeluarga, langganan salon Mang Epul. Suami saya, dan anak saya yang laki-laki, kalau pergi untuk bercukur ke Mang Epul, dan salonnya sangat penuh dengan antrian, atau seperti biasa, misalnya tutup dadakan karena Mang Epul pergi mancing, mereka akan pulang lagi ke rumah untuk datang ke Mang Epul di hari lain. Padahal salon lain juga banyak, Tak kurang dari belasan, barbershop ada di jalan utama depan komplek saya, belum lagi kalau di daerah pasar. Atau mau ke salon yang bagusan, ke Mall Istana Plaza juga lumayan dekat.  Tapi mereka emoh. Alasannya karena cukuran mang Epul hasilnya kena di hati mereka, pijatan tangan mang Epul juga luar biasa nyaman. Saya bahkan curiga Mang Epul punya tenaga dalam. Dari mulai pijatan saat keramas, lanjut dengan pijatan saat creambath, lalu pijatan pada kepala yang menyeluruh, ditambah pijatan pada pundak dan tangan, kadang bahkan totok wajah segala, kadang lagi bahkan ditambah pijatan di kaki (kalau sempat dan  tidak banyak yang antri), hilang sudah letih lelah dan salah urat dan sakit kepala oleh pijatan Mang Epul ini. Saya dengan sok tahu bahkan menganggap teknik pijat mang Epul ini antara tradisional totok, Shiatsu, dan pijat Thailand. Tapi ini analisa dangkal dari saya yang amatir soal pijat, soalnya saya juga belum pernah pijat Shiatsu dan Thailand. Paling juga pernah di tempat pijat seperti spa, yang kalau menurut saya, menang di fasilitas dan bagusnya tempat, tapi mahal dan pijatnya tidak semuanya enak. Malah saya pernah pijat refleksi kaki, hasilnya malah sakit kaki. Tapi bau wewangian di tempat spa dan minuman jahe campur entah apanya sih memang saya akui sangat nyaman dan segar. Selain layanan cukur dan perawatan dan perubahan warna atau bentuk rambut (berubah bentuk dari lurus menjadi keriting dan sebaliknya, maksud saya), di tempat mang Epul suka dibikinin kopi atau teh sama istrinya, atau minuman soft drink lain yang tersedia di kulkasnya. Kadang kalau kita lapar, istrinya pun bersedia membelikan capcay, atau lo mie, di restoran seberang jalan, daripada kita bengong nunggu dengan perut lapar. Salon Mang Epul, adalah salon bernuansa kekeluargaan. Kadang ditingkahi keributan anaknya yang menangis, atau obrolan rumah tangga antara dia dan istrinya. Sementara kami sang pelanggan biasanya bengong saja, atau ikutan nimbrung ngobrol kalau gatel pengen komentar. [caption id="attachment_1413" align="aligncenter" width="500" caption="Menunggu Mang Epul pulang Kenduri"]

[/caption] Pengalaman saya dipotong rambut di tempat mang Epul adalah termasuk ditinggal kenduri, sementara rambut saya dalam kondisi dibungkus handuk sehabis cuci rambut. Ceritanya suatu hari Minggu,  saya dan suami datang untuk potong rambut, mang Epul yang akan pergi kenduri rupanya tak tega menolak kami. Dia mencuci rambut saya dengan gelisah. Sehingga akhirnya saya tanya kenapa, dia jawab akan pergi ke undangan tetangga di gang sebelah yang kenduri sunatan anaknya. Jawab saya ya engga apa-apa pergi dulu ke undangan, saya dan suami akan menunggu saja.  Akhirnya dia pergi dulu dengan mengendarai motor. Saya dan suami saya, menyetop tukang cuan kie yang lewat, makan dulu sambil nonton tv, sambil menunggu Mang Epul pulang dari kenduri, dengan rambut saya yang masih basah dibungkus handuk. Mang Epul dan banyak tukang cukur lain di daerah saya ini, saya masih golongkan sebagai tukang cukur tradisional. Walaupun secara peralatan dia agak sedikit di atas kasta tukang cukur tradisional DPR (Dibawah Pohon Rindang atau Onder de Boom). Namun secara harga Mang Epul masih sangat jauh dibawah salon modern yang  berlabel keren di kota-kota besar. Kelebihan Mang Epul, dia mengutamakan kedekatan dengan pelanggan. Pelanggan bisa tahu keluarganya, anak istrinya, dan saudara-saudaranya, termasuk almarhum petinju Al Farizi yang wafat saat bertanding melawan petinju Thailand. Kadang-kadang langganan Mang Epul adalah orang-orang yang tinggalnya jauh dari Cijerah, misalnya dari daerah Setiabudi. Kalau yang jauh biasanya janjian dulu via sms atau telepon. Mengingat maraknya salon-salon yang  dikuasai oleh raksasa-raksasa bisnis dan franchise, bahkan ada salon otomatis 5 menit jadi (kalau yang ini sangat efektif memang buat orang yang sedang transit di bandara terus mati gaya bingung mau ngapain lagi), apakah para tukang cukur tradisional, terutama para bapak-bapak  tukang cukur yang bekerja di DPR  ini akan tergeser oleh perubahan jaman yang serba praktis dan otomatis ini? Tukang cukur tradisional yang lebih dari sekedar  profesi  namun sekaligus tradisi klasik dari sejak jaman kolonial dulu, mungkin akhirnya hanya akan kita temukan jejaknya di buku-buku sejarah tentang kota atau buku kumpulan foto tempo doeloe. Sumber Gambar/Foto: Dokumentasi Pribadi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline