Prolog
Dalam pencarian makna hidup, dua pandangan besar sering kali berbenturan: Eksistensialisme dan Agama. Di satu sisi, agama mengajarkan bahwa manusia memiliki tujuan yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Di sisi lain, eksistensialisme menegaskan bahwa kita sendirilah yang bertanggung jawab atas makna dan arah hidup kita.
Eksistensialisme sebagai aliran filsafat berkembang pesat pada abad ke-19 dan 20, dengan tokoh-tokoh besar seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Friedrich Nietzsche, dan Søren Kierkegaard. Masing-masing dari mereka memiliki perspektif unik tentang kebebasan, makna hidup, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
◉ Sartre menegaskan bahwa "manusia dikutuk untuk bebas" (dalam Existentialism is a Humanism, 1946), yang berarti tanpa adanya Tuhan, manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri.
◉ Camus dalam The Myth of Sisyphus (1942) berbicara tentang absurditas hidup, menolak baik agama maupun nihilisme pasif, dan memilih "pemberontakan" sebagai cara menghadapi absurditas.
◉ Nietzsche dengan terkenal menyatakan "Tuhan telah mati" (The Gay Science, 1882), menyoroti bagaimana manusia harus mencari makna hidup tanpa bergantung pada otoritas agama.
◉ Kierkegaard, di sisi lain, melihat iman sebagai lompatan keberanian—suatu pilihan sadar dalam menghadapi ketidakpastian dan absurditas (Fear and Trembling, 1843).
Lantas, apakah kita harus memilih antara percaya Tuhan atau percaya diri? Apakah keimanan dan kebebasan berpikir bisa berjalan beriringan? Atau justru, eksistensialisme adalah bentuk pemberontakan terhadap dogma agama yang mengekang?
Eksistensialisme: Kebebasan Mutlak dan Tanggung Jawab Penuh
Eksistensialisme adalah filsafat yang menekankan kebebasan individu dan tanggung jawab penuh atas pilihan hidup. Tokoh seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Friedrich Nietzsche menawarkan kritik tajam terhadap konsep takdir dan makna hidup yang diberikan dari luar diri manusia.
Dasar Pemikiran Eksistensialisme
1. Eksistensi mendahului esensi → Kita tidak diciptakan dengan tujuan tertentu, tetapi kita membentuk diri kita melalui tindakan dan pilihan kita sendiri.
2. Kebebasan dan kecemasan (angst) → Karena tidak ada takdir yang sudah ditentukan, manusia harus menghadapi kecemasan akibat kebebasan yang dimilikinya.
3. Absurd dan pemberontakan → Hidup ini absurd karena tidak ada makna yang melekat di dalamnya. Namun, manusia dapat melawan absurditas itu dengan menciptakan makna sendiri.
4. Penolakan terhadap otoritas absolut → Eksistensialisme menolak dogma yang mengklaim memiliki kebenaran absolut, termasuk agama dalam bentuknya yang rigid.
Bagi Sartre, Tuhan tidak ada, dan oleh karena itu, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas kehidupannya. Tidak ada “jalan yang benar” yang ditentukan dari luar, semua kembali pada individu untuk menentukan maknanya sendiri.
Namun, bagaimana dengan mereka yang beriman? Apakah mereka berarti kehilangan kebebasan?
Agama: Kepasrahan atau Keimanan yang Dihayati?
Sebaliknya, agama menawarkan makna objektif yang datang dari Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan sering dikaitkan dengan kepasrahan—menyerahkan hidup kepada kehendak-Nya. Dalam agama-agama besar, ada kepercayaan bahwa manusia memiliki tujuan yang lebih tinggi di luar dirinya, misalnya:
◉ Islam → Hidup adalah ujian untuk mengabdi kepada Tuhan, dengan aturan dan pedoman yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
◉ Kristen → Manusia diciptakan untuk mencintai dan berhubungan dengan Tuhan, dengan Yesus Kristus sebagai jalan keselamatan.
◉ Hindu-Buddha → Tujuan hidup adalah mencapai pencerahan dan kebebasan dari siklus kelahiran kembali, yang diperoleh melalui disiplin spiritual dan kebajikan.
Namun, apakah beragama berarti kehilangan kebebasan?
Tidak selalu. Søren Kierkegaard, salah satu bapak eksistensialisme beragama, berpendapat bahwa iman adalah lompatan keberanian, bukan sekadar kepasrahan buta. Ia menganggap bahwa percaya kepada Tuhan adalah keputusan sadar yang melibatkan perjuangan dan pertarungan batin. Iman sejati tidak datang dari warisan atau dogma, melainkan dari pergumulan eksistensial pribadi.
Fenomena Modern yang Mencerminkan Konflik Ini
Fenomena-fenomena berikut menggambarkan relevansi eksistensialisme dan agama di era modern:
◉ Fenomena "Spiritual but Not Religious" (SBNR) → Banyak orang, terutama generasi muda, yang meninggalkan agama institusional tapi tetap mencari makna dan spiritualitas dengan cara mereka sendiri. Ini mencerminkan bagaimana eksistensialisme menginspirasi pencarian makna di luar dogma agama.
◉ Meningkatnya Skeptisisme terhadap Agama → Skandal dalam institusi keagamaan, dogma yang kaku, dan interpretasi agama yang ekstrem membuat banyak orang mempertanyakan kepercayaan tradisional. Nietzsche mungkin akan berkata, "Lihat, Tuhan memang sudah mati dalam kesadaran modern."
◉ Krisis Identitas dan Makna di Era Digital → Media sosial membuat banyak orang mempertanyakan makna eksistensi mereka. Pertanyaan seperti "Apa arti hidupku?" atau "Apakah aku menjalani hidup yang autentik?" sering muncul, sejalan dengan pemikiran Sartre dan Camus tentang absurditas hidup.
◉ Lonjakan Depresi dan Kesehatan Mental → Dengan runtuhnya nilai-nilai tradisional, banyak orang merasa kehilangan pegangan hidup, yang mencerminkan krisis eksistensial dalam filsafat eksistensialisme.
◉ Gerakan Keagamaan yang Lebih Reflektif → Munculnya komunitas agama yang lebih terbuka terhadap pertanyaan dan refleksi mendalam, bukan sekadar mengikuti dogma buta. Ini selaras dengan gagasan Kierkegaard tentang "iman yang sadar dan dipilih."