"Seringkali pikiran orang lain menjadi misteri atau teka-teki bagi kita. Apa yang mereka pikirkan seringkali tidak bisa kita pahami."
Akan tetapi, sering kita berpikir bahwa kita sebetulnya bisa mengerti pikiran orang lain asalkan kita telaten, cukup sabar memahami apa yang sebenarnya mereka maksud. Jadi, jika kita cukup sabar dan telaten mengajak berdialog dengan orang lain, memahami, serta berempati dan seterusnya maka, pada akhirnya kita mengerti apa isi dari pikiran orang lain. Namun, filsafat menunjukkan bahwa hal itu sebetulnya tidak mungkin (kita tidak mungkin benar-benar memahami isi dari pikiran orang lain). Dan bukan hanya itu, kita bahkan tidak mengerti isi dari pikiran kita sendiri. Ini adalah suatu enigma atau misteri. Tentang pikiran orang lain dan pikiran kita sendiri. Dan dalam artikel ini saya akan menunjukkan mengapa misteri itu tetaplah menjadi sebuah misteri yang tak terpecahkan sampai sekarang.
Kita seringkali mengandaikan begitu saja bahwa setiap orang berpikir dengan cara yang kurang lebih sama. Jika saya bisa menyimpulkan bahwa langit itu "biru"dari pengamatan saya atas langit, maka orang lainpun juga sama bisa menyimpulkan hal itu. Jadi, ada asumsi atau andaian bahwa, kita kurang lebih berpikir dengan cara yang sama. Namun, filsafat menunjukkan bahwa hal tersebut tidak sesederhana itu. Seorang filsuf Austria yang cukup eksentrik bernama Ludwig Wittgenstein pernah mengulas persoalan ini di dalam buku "Philosophical Investigation". Ia mengangkat sebuah kasus yang dewasa ini dikenal sebagai "Inverted Qualia" atau Qualia yang terbalik. Qualia ini sebenarnya adalah istilah teknis dalam filsafat untuk menandai sensasi indrawi, misalnya kesan melihat warna merah atau merasakan panas atau mencium aroma tertentu. Semua itu merupakan qualia, kesan-kesan indrawi yang kita serap lewat proses pengindraan kita. Dan qualia ini memiliki sifat khas, dalam arti dia bisa kita akses secara langsung. Artinya, kalau kita melihat warna merah misalnya, maka warna merah itu langsung hadir di dalam kesadaran kita. Kita lihat dan kita sadari bahwa itu merah.
Akan tetapi muncul suatu masalah, yaitu bagaimana dengan qualia yang dipersepsi oleh orang lain? Misalnya, kita sama-sama melihat papan lembar tulis artikel ini berwarna putih (anggap saja putih sempurna). Masalahnya, betulkah apa yang kita sebut sebagai putih papan lembar artikel ini adalah putih yang sama? Kita bisa saja mendefinisikan putih itu adalah warna yang sepenuhnya tidak memiliki atau tidak terkontaminasi dengan spektrum cahaya yang lainnya seperti merah, biru, hijau dan seterusnya. Dan kita tahu bahwa tiap kali kita berkomunikasi satu sama lain, kita selalu merujuk pada hal yang sama bahwa itu sebagai putih, seperti papan lembar artikel ini dan lain sebagainya. Artinya, kita selalu berangkat dengan pengandaian tadi. Akan tetapi, dalam arti tertentu hal ini sebetulnya tidak bisa dibuktikan. Kita tidak pernah memiliki pembuktian yang sifatnya objektif bahwa "persepsi ku tentang putih ini sama dengan persepsimu" (dalam konteks di luar soal simbolisasi atau pemaknaan putih itu murni, putih itu yang cemerlang, dsb ya). Namun, fakta objektif persepsi tentang warna putih itu pun kan sebenarnya tidak bisa dijelaskan satu sama lain, artinya kalau kita membangun suatu kasus katakanlah ketika seseorang menggunakan kata "putih" untuk hal yang dianggap putih terus secara konsisten dan kebetulan penggunaannya ini cocok dengan orang lain sedangkan sebetulnya apa yang dia sebut putih itu sebetulnya menurut persepsi orang lain itu warna nya ungu. Akan tetapi dia menggunakan warna putih ini untuk menyebut benda yang orang lain juga anggap putih, maka hal itu jadi cocok.
Dari sini disimpulkan, bahwa tidak ada kriteria yang sifatnya objektif untuk menentukan "apakah yang aku lihat itu betul-betul hal yang sama dengan yang orang lain lihat?" . Jadi, persepsiku sebagai warna merah, putih, biru dan lain sebagainya itu belum tentu sama dengan yang kalian persepsikan. Boleh jadi, apa yang kita rasakan apa yang aku rasakan, sensasi yang aku terima dari suatu benda yang aku sebut "putih", itu sebenarnya berwarna ungu. Jadi, kasus Inverted Qualia atau Qualia Terbalik itu persis seperti itu, yaitu ketika seseorang mempersepsikan tentang sesuatu dan mengenalinya sebagai warna ungu tetapi dia menyebutnya dengan kata putih karena dia tahu itu adalah konsepnya putih. Warna itu diasosiasikan dengan kata putih dan orang lain yang melihatnya sebagai warna putih dan menggunakan kata putih untuk menyebutnya. Diantara kedua kasus penggunaan ini, tidak ada kriteria yang bisa memilah "apakah persepsiku sama dengan persepsi kalian atau berbeda?" . Ini adalah problem dari Inverted Qualia , tidak ada yang bisa memastikan. Jadi, dari situ bisa disimpulkan bahwa "pikiran ku tentang warna ataupun Qualia yang lain , kesan-kesan indrawi yang lain itu tidak bisa nyambung dengan pikiran kalian tentang hal-hal itu. dan aku tidak bisa mengerti pikiran kalian tentang hal itu dan kalian juga tidak bisa mengerti pikiran ku tentang hal-hal itu".
Contoh yang lainnya dikemukakan juga oleh filsuf dari Amerika bernama Willard van Orman Quine. Dia mengangkat sebuah kasus penggunaan bahasa tertentu, katakanlah suatu suku yang ada di wilayah atau hutan tertentu yang menyebutkan kelinci itu sebagai "Gavagai" . Ketika seorang antropolog datang dan menanyakan binatang itu, salah satu dari suku itu menyatakan bahwa itu "Gavagai". Nah, lalu si antropolog ini menganggapnya sebagai "kelinci". Akan tetapi, menurut Quine siapa yang bisa memastikan bahwa yang dimaksud "Gavagai" oleh suku itu sebetulnya bukan kelinci, tetapi keseluruhan bagian yang tidak terlepas dari seekor kelinci, istilahnya itu undetached rabbit parts. Jadi, keseluruhan bagian atau part dari rabbit itu yang undetached atau tidak terpisah (sesuatu yang utuh). Hal tersebut menunjukkan adanya 2 konsep yang berbeda, yang satu kelinci yang satu nya lagi undetached rabbit parts.
Ini tentunya berbeda dengan kasus yang muncul di film Arrival , film populer Hollywood itu yang dimana seorang protagonis yang seorang linguis (ahli bahasa) menceritakan tentang suatu kasus penemuan Bahasa Aborigin oleh orang Inggris (dalam konteksnya orang Austalia). Ketika suku Aborigin ditanya tentang binatang itu dan suku tersebut mengatakan bahwa itu adalah "Kanguru". Namun, yang dimaksud oleh suku Aborigin itu sebenarnya bukan "Kanguru" si binatang itu, tapi "lompat-melompat" lah yang disebut sebagi "Kanguru" (sesuatu yang melompat). Nah, kasus ini sedikit berbeda dengan kasus "Gavagai" tadi. Karena hal ini bisa diklarifikasi dikemudian hari ya. "Oh, ternyata penggunaan kata bukan hanya melekat pada Kanguru, tetapi juga melekat di sembarang makhluk yang melompat". Berarti Kanguru artinya adalah melompat. Dengan demikian bisa disimpulkan seperti itu. Jadi, dari cara orang menggunakan bahasa itu kita bisa menyimpulkan makna dari kata-kata tersebut (sepeti Kanguru, atau apapun itu).