Lihat ke Halaman Asli

Mirah Delima

Belajar dan Mendengarkan

Mungkin Ngga Agorafobia Mural?

Diperbarui: 29 Agustus 2021   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Conklin, T R (2012). Street Art, Ideology, and Public Space

Masih dengan hiruk-pikuk gambar mural, ceritanya. Sudah ada beberapa mural, termasuk tindakan pemerintah. Sampai menjual kaos saja, pakai sablon tertentu berurusan ke aparat kepolisian. Meski itu adalah pekerjaan tetap, seorang sabloner. Ia perlu lapor dan melakukan permohonan maaf dengan proses berita acara tentunya. Meminta maaf dan tidak akan melakukan pencetakan kaos senada lagi. Si sabloner perlu ide-ide yang “lebih kreatif”, jangan ikut-ikutan saja.

Alih-alih mau diciduk aparat, sudah pasti seniman mural dilanda ketakutan, masyarakat juga. Selain bingung dan gelisah. Walaupun alasan yang dirasakan “kurang pas” ya. Ngga beda dengan pernyataan dari pemerintah setempat “kurang pas” letak mural tersebut. Menganggu ketertiban umum. Rencananya akan difasilitasi tempatnya kreativitas para seniman di kota Tangerang.

Lagipula, gambar mural itu menimbulkan ketidakpahaman di masyarakat. Karenanya selain warga, seniman, para pengamat dan akademisi juga berkomentar dan bertanya. Berbagai pandangan atas mural-mural itu.

Agorafobia Mural?

Terkesan ada rasa takut yang mengarah ke gejala agorafobia. Atau sosial fobia, kali. Agorafobia dan sosial fobia termasuk fobia kompleks. Gejala yang terjadi hampir mirip. Ketakutan dan kecemasan pada situasi tertentu. Agorafobia perasaan yang terjebak di tempat umum.  Atau sulit untuk dapat melarikan diri, situasi sulit tidak mendapatkan pertolongan. Kalau ada serangan maka menjadi panik. Mungkin panik terhadap mural-mural yang mengkritisi. Bisa jadi. Ada gejala untuk itu.

Kita mungkin pernah mengalami gejala agoraphobia atau fobia sosial. Mengutip berita di media Kompas sebelumnya, ada pernyataan dari pengamat komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Terjadinya kebingungan di publik untuk mural “404:not found”. Mirip kepala negara tetapi sebenarnya bukan. Tidak ada menyebutkan identitas dan keterangan yang mengarah ke satu orang. Apalagi ke kepala negara Indonesia. Masyarakat sudah tentu menghormati dan menghargai. Masyarakat masih berbudaya. Itu hasil demokrasi dari rakyat Indonesia, kok. Artinya, publik ngga paham permasalahan yang menyebutkan mural itu salah karena apa. Alasan salah apakah didasari sebagai penganggu ketertiban umum atau substansi moral. Atau alasan lain.

Institut Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Komisi III DPR RI dan Presiden Joko Widodo memanggil Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. ICJR mempertanyakan perbuatan sewenang-wenang dari aparat kepolisian. Terulang lagi, mural itu melanggar kebebasan orang berekspresi dan berpendapat.

Dosen tetap dan pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia menyatakan, ada yang membedakan penanganan urusan mural sosial yang mengkritik saat era SBY. Tak ada wajib lapor dan tindakan pencarian seorang seniman atau warga yang menggambarkan ekspresi lewat muralnya. Jelas menyebutkan nama SiBuYa di seekor kerbau? 

Kalau disandingkan, sangat berbeda cara dan respon atas mural yang hadir di tengah bangsa ini. Mural-mural malah bikin bingung, takut, dan membelenggu hak masyarakat untuk berpendapat. Setidaknya diapresisasi muralnya, karya seniman itu dengan cara yang bijaksana. Mungkin, ngga diletakkan di dinding atau tembok, tetapi di seekor kerbau, ekspresi dari seniman ini. Bukan bermaksud menyindir pula. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline