Tanggal 28 Januari 2020 saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan pementasan Monolog "Wanodja Soenda" yang digagas oleh The Lodge Foundation kemudian direalisasikan oleh Main Teater dengan menampilkan cerita tiga tokoh pahlawan Sunda yaitu Emma Poeradirejda, Raden Dewi Sartika dan R.A. Lasminingrat.
Dari ketiga tokoh tersebut ada satu tokoh yang menarik perhatian saya yaitu Lasminingrat karena selain beliau, dua tokoh itu pernah saya baca ceritanya.
Menonton Monolog "Wanodja Soenda" yang ceritanya ditulis oleh Zulfa Nasrulloh dan dibawakan secara apik oleh Maudy Koesnaedi Selama +- 30 menit membuat saya tahu betapa hebatnya sosok pahlawan yang satu ini.
Menurut Wikipedia, R.A. Lasminingrat lahir di Garut pada tahun 1843 dan merupakan putri sulung dari R.H. Moehamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Ayahnya Lasminingrat adalah seorang penghulu bintang Limbangan sekaligus sastrawan Sunda. Ayahandanya Lasminingrat ternyata pernah menimba Ilmu di suatu pesantren daerah Purwakarta.
Lasminingrat sejak kecil sudah diberikan kebebasan untuk membaca dan menulis dan itu didukung penuh oleh ayahnya. Keseringan membaca buku membuat Lasminingrat merasa terbuka dunianya. Ketika Ia kecil sekitar tahun 1850-an saat itu sekolah untuk pribumi sangat terbatas hanya untuk kaum laki-laki. Tidak banyak keluarga yang membiarkan perempuan untuk belajar. Dan itu sangat berbanding terbalik dengan orang tuanya yang mendukung penuh Lasmingrat untuk belajar dengan seluas-luasnya
Dari monolog Lasminingrat, di ceritakan bahwa Haji Muhamad Musa mempunyai seorang kenalan seorang pimpinan kebun teh di Cikajang bernama Tuan Karel Frederik Holle yang juga seorang ahli tata bahasa yang suka meneliti kebudayaan Sunda.
Tuan Holle lah yang mengatakan bahwa dalam kebudayaan Sunda, Perempuan adalah Pemimpin. Perempuan adalah Raja. Dari Tuan Holle, Lasminingrat banyak mendapat buku cerita dan juga pengetahuan. Karena sering mendengar, Lasminingrat sedikit demi sedikit mulai memahami isi ceritanya dan membuat Lasminingrat semakin tertarik membaca dan belajar bahasa Belanda. Lasminingrat pun semakin giat belajar.
Namun tahun 1850-an, Belanda mulai menerapkan sistem tanam paksa di mana rakyat disuruh menaman apa yang mereka tidak tahu. Rakyat kehilangan beras dan makanan hingga akibatnya timbul kebencian kepada orang Belanda.
Bagi masyarakat, saat itu Belanda adalah kafir dan bandit-bandit pencuri hasil tanah mereka. Kedekatan keluarga Lasminingrat dengan Tuan Holle membuat keluarganya pun ikut dibenci rakyat. Padahal tidak semua orang Belanda itu jahat, kata Lasminingrat.
Kebencian masyarakat pun semakin memuncak ketika Lasminingrat beranjak Gadis dan dititipkan sebagai anak angkat pada seorang direktur Belanda bernama Tuan Levyson Norman di Sumedang. Ayahnya sempat di cap tidak tahu adat.
Padahal ayahanda Lasminingrat dari dulu menginginkan anak-anaknya kelak mendapatkan posisi di kalangan pemerintah termasuk Lasminingrat yang seorang perempuan harus belajar dan dekat dengan para pejabat. Ayahnya tidak ingin keluarganya tidak mencuri kesempatan untuk belajar dan mencapai kesejahteraan di masa depan.