Ini adalah kisah nyata saya dan Meisya, seorang perempuan periang yang kini menjadi sahabat saya. Sebelumnya saya tidak terlalu akrab dengannya. Kami satu sekolah tetapi beda jurusan dan beda organisasi. Saya IPS, dia IPA. Saya PMR, dia Pramuka. Saya kenal dia saat les renang, itupun ketika kami sudah duduk di kelas XII. Kemudian kami mulai akrab karena suatu persamaan, yaitu sama-sama putus asa melihat hasil SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Saya adalah seorang anak desa yang punya mimpi kuliah namun terkendala biaya dan restu orang tua. SNMPTN dan Bidikmisi adalah harapan saya satu-satunya saat itu. Orang tua saya bilang, kalau saya lulus SNMPTN saya boleh kuliah di luar kota. Akan tetapi, harapan saya satu-satunya itu pupus ketika hari pengumuman tiba. Tidak ada satu orang pun dari angkatan saya yang lolos SNMPTN pada tahun itu, termasuk saya. Mungkin memang belum rezekinya.
Saya sangat putus asa. Hingga akhirnya beberapa hari setelah pengumuman kelulusan, saya bertemu Meisya di depan ruang tata usaha. Meisya itu orangnya easy going, dia bisa mencairkan suasana, sehingga saya yang baru kenal dengannya pun bisa betah ngobrol berlama-lama dengannya. Dia menceritakan rencananya kedepan, dia bilang dia akan kerja, cari uang, agar bisa mendaftar kuliah di tahun berikutnya. Kemudian saya tanya dia mau kerja dimana, apakah dia sudah ada tujuan? Ternyata, dia sudah melamar kerja sejak pengumuman kelulusan, dan tinggal menunggu panggilan. Dengan hanya bermodal surat keterangan lulus, surat keterangan catatan kepolisian, dan surat keterangan dokter, dia melamar pekerjaan di salah satu perusahaan di Kabupaten kami. Dia juga mengajak saya untuk melamar di perusahaan yang sama dengannya, dia bilang "ayo kita sama-sama perjuangin mimpi kita".
Hari perpisahan pun tiba. Hari itu adalah hari yang dinanti oleh semua anggota OSIS untuk bisa memaksimalkan tugas mereka sebagai panitia acara. Penantian para anggota OSIS berbanding terbalik dengan anak-anak kelas XII yang masih berat meninggalkan sekolah. Hari itu juga merupakan hari dimana saya membuat keputusan untuk berangkat ke Kabupaten, untuk melamar pekerjaan. Beberapa hari setelah acara perpisahan selesai, saya dan Meisya pergi ke Kabupaten. Meisya sudah diterima bekerja, sedangkan saya masih mencoba melamar pekerjaan di sana.
Singkat cerita, saya dan Meisya pun akhirnya menjadi roommate (teman sekamar). Seiring berjalannya waktu, saya mulai memahami karakter Meisya. Kata orang-orang, kita tidak akan pernah bisa memahami orang lain sebelum kita tinggal satu atap dengannya, lebih dari sehari. Dan itu ternyata memang benar. Saya dan Meisya mempunyai karakter yang berbeda, bahkan berbanding terbalik. Saya orangnya gak enakan dan kadang menyembunyikan perasaan saya, sedangkan Meisya lebih 'blak-blakkan' dan sangat jujur dengan perasaannya. Saya ketika marah lebih memilih diam terlebih dahulu, dan menunggu semuanya tenang. Sedangkan Meisya tidak ingin lama-lama diam, dia selalu to the point menyampaikan kemarahannya, dan cenderung mau menyelesaikan masalah saat itu juga. Karakteristik kita yang berbeda membuat kita saling menyesuaikan diri satu sama lain untuk menghindari konflik.
Tetapi, sepandai-pandainya kita menyesuaikan diri satu sama lain, kita tetap manusia biasa, kita tetap dua remaja yang masih sama-sama punya ego tinggi, dan karena itulah konflik terjadi. Suatu hari, Meisya mengajak saya ke pasar malam dan dia mengajak saya naik wahana 'kora-kora'. Wahana yang menurut saya menyeramkan, tapi tidak bagi Meisya. Saya menolak, tapi dia terus membujuk saya dan cenderung memaksa. Hingga akhirnya saya marah karena merasa dia terlalu memaksa, tapi alasan utamanya karena saya takut, sih. Akhirnya kami pulang ke kosan dan saling mendiamkan satu sama lain.
Malam itu, sepulang dari pasar malam, Meisya tiba-tiba menangis di kosan. Saya kebingungan melihatnya menangis, tapi saya juga merasa bersalah. Saya bertanya dalam hati, "apa saya benar-benar melukai perasaan sahabat saya?" Kemudian saya meminta maaf padanya dan tiba-tiba bulir hangat itu mengalir di pelupuk mata saya, saya ikut menangis di samping Meisya. Beberapa menit kemudian, setelah puas menangis, Meisya meminta maaf pada saya, dia meminta maaf karena telah memaksa saya padahal sudah tahu kalau saya takut naik wahana itu. Kemudian dia menceritakan semua beban yang ada di hatinya, dia menceritakan soal masalah keluarganya. Dia bilang, dia mengajak saya naik wahana 'kora-kora' semata-mata untuk me-refresh pikirannya, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya di atas kora-kora, agar dia bisa melupakan sejenak masalahnya. Pasti tidaklah mudah menjadi seorang Meisya, seorang anak yatim yang menjadi tulang punggung keluarga. Di bahunya, dia memikul beban tanggung jawab terhadap ibu dan adik-adiknya. Dia adalah anak pertama perempuan yang dituntut untuk selalu kuat dalam setiap keadaan.
Kini, saya dan Meisya sudah lama terpisah. Meisya pergi ke luar kota untuk mengejar mimpinya. Sedangkan saya, masih di kota saya. Tahun ini adalah tahun ketiga kami kuliah di kampus kami masing-masing.
Untuk Meisya, semoga selalu sehat dan panjang umur, semoga dilancarkan terus pekerjaannya, dimudahkan rezekinya, juga dikuatkan terus pundaknya dalam memikul amanah keluarga. I miss u so much, the strongest friend ever.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H