Lihat ke Halaman Asli

Miracle Syalomitha Urbinas

Mahasiswa - Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pesan di Balik Hastag: Analisis Retorika Pada Gerakan #BlackLivesMatter

Diperbarui: 12 Oktober 2024   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: https://tbli.nl

Black Lives Matter (BLM) merupakan gerakan perlawanan rasisme pada orang berkulit hitam. Berawal dari kebrutalan polisi di Amerika Serikat yang membunuh seorang berkulit hitam tak bersenjata, yaitu Goerge Floyd, pada 2020 lalu. Ia dibunuh oleh polisi yang menekan leher Floyd dengan lutut polisi itu hingga tak bisa bernafas.


Karena kasus itu, orang-orang mulai Bersatu dengan melakukan Gerakan Black Lives Matter. Slogan #BLM dan tagar #BlackLivesMatter digunakan sebagai bentuk protes yang tersebar sampai ke seluruh dunia dan gunakan pulahan juta kali di media sosial. Tidak hanya tagar banyak orang juga menggunakan symbol BLM sebagai foto profil media sosial mereka.

#BlackLivesMatter merupakan salah satu bukti kuat tentang bagaimana media sosial dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong perubahan sosial. Kampanye ini berhasil menggerakkan jutaan orang di seluruh dunia untuk berbicara tentang ketidakadilan rasial dan kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam.

Gerakan ini, berhasil mempersuasi banyak orang untuk ikut serta berpartisipasi melalui media sosial mereka. Berikut ini adalah analisis persuasif  dari Gerakan Black Lives Matter di media sosial, dengan teori retorika dan dialektika.

Jika melihat dari teori Retorika Aristoteles, terdapat tiga elemen dalam retorika yaitu ethos, pathos dan logos. Secara sederhana, ethos adalah seberapa kredibel komunikator yang menyampaikan pesan. Aristoteles menyatakan bahwa, penyampaian pidato oleh orang yang tepercaya akan lebih persuasif dibanding pidato seseorang yang kejujurannya dipertanyakan. Logos merupakan, Kumpulan bukti yang digunakan oleh komunikator untuk mendukung pernyataannya. Selanjutnya pathos, Aristoteles berpendapat bahwa emosi pendengar bisa menjadi bukti yang kuat. Kebahagiaan, kesedihan, kebencian, atau ketakutan yang dirasakan pendengar saat mendengarkan suatu pidato dapat menunjukkan seberapa efektif pidato tersebut.

Ethos, pathos dan logos pada Gerakan Black Lives Matter ini adalah sebagai berikut:

  • Ethos: Kampanye ini membangun kredibilitas dengan menyoroti pengalaman nyata korban kekerasan polisi dan ketidakadilan rasial. Kisah-kisah pribadi ini menciptakan empati dan membuat pesan kampanye terasa lebih otentik.
  • Pathos: Kampanye ini secara efektif membangkitkan emosi audiens melalui gambar-gambar yang menyayat hati, video, dan narasi yang menyentuh. Emosi seperti kemarahan, kesedihan, dan harapan menjadi pendorong utama bagi partisipasi masyarakat.
  • Logos: Kampanye ini menggunakan data dan fakta untuk mendukung argumennya. Statistik tentang kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam, serta analisis hukum dan sosial, memberikan dasar yang kuat untuk tuntutan perubahan.

 

Selanjutnya, melihat dari teori DialektikaMenurut Irmayanti dan Budianto (2002:14 dalam Joko Suwarno), dialektika Hegel adalah cara berpikir yang menggunakan tiga tahap: tesis (masalah), antitesis (lawan dari masalah), dan sintesis (solusi). Dengan metode ini, kita bisa menemukan jawaban atas masalah yang rumit dengan cara melihat berbagai sudut pandang yang berbeda.

Tesis, antithesis dan sintesis pada Gerakan Black Lives Matter ini adalah sebagai berikut:

  • Tesis: Kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam adalah masalah serius yang harus diatasi.
  • Antitesis: Argumentasi yang menentang, seperti klaim bahwa kekerasan polisi tidak diskriminatif atau bahwa masalah sebenarnya adalah kriminalitas.
  • Sintesis: Kampanye ini menawarkan solusi konkret, seperti reformasi kepolisian, pendidikan tentang rasisme, dan peningkatan akuntabilitas.

Penggunaan teknik retorika dan dialektika yang cermat dalam kampanye #BlackLivesMatter terbukti sangat efektif dalam memobilisasi massa, mengubah narasi publik, dan mendorong perubahan sistemik. Kampanye ini berhasil menghimpun jutaan orang dari berbagai latar belakang, mengubah persepsi global tentang rasisme dan kekerasan polisi, serta memberikan tekanan pada institusi untuk melakukan reformasi. Keberhasilan ini tak lepas dari peran media sosial, dukungan selebriti, dan kerja sama dengan berbagai organisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline