Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memberikan keputusan kepada Ketua MK Anwar Usman. Sayangnya, keputusan terhadap Anwar Usman hanya sebatas memberhentikan sebagai Ketua MK. Padahal, pelanggaran Anwar Usman sangat berat. Pelanggaran dia bukan hanya menyangkut etik bahkan menyangkut konten keputusan yang memperlihatkan keberpihakan terhadap pihak yang terkait perkara yaitu ponakannya, Gibran. Itu artinya, kesalahan Anwar Usman sungguh-sungguh merusak bukan hanya etik tetapi materi keputusan.
Sangat bisa dipahami jika salah satu anggota MKMK Bintan R. Saragih memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap putusan Anwar Usman. Menurut Bintan Anwar seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan pelanggaran berat.
"Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 tahun 2023 tentang MKMK." tegas Bintang saat sidang di Gedung MK.
Bahkan jika berpikir lebih jauh ke depan keputusan pemecatan sebagai Hakim MKpun sebenarnya belum cukup. Apa yang dilakukan Anwar Usman sungguh-sungguh merupakan kesalahan sangat luar biasa, yang dampaknya berbahaya bagi kedamaian negeri ini. Ia, bahkan seharusnya diseret ke pengadilan umum dan dikenakan sanksi hukuman mati. Mengapa?
Keputusan MK itu bersifat final dan mengikat. Tidak ada upaya hukum lain untuk mengoreksi. Itu artinya, Anwar Usman diduga dengan sadar telah memutuskan sesuatu yang sebenarnya salah baik dari proses maupun materi perkara, yang demi kepentingan keponakannya. Bisa dibayangkan jika perilaku Anwar Usman ini terulang lagi karena hukuman yang sangat ringan.
Masyarakat yang kecewa tak memiliki ruang untuk mengajukan upaya hukum. Bisa dibayangkan jika kontroversi itu terkait kepentingan masyarakat luas seperti Pilpres, Pilkada. Bukan hal luar biasa jika dapat memantik konflik horizontal.
Hukuman berat kepada Hakim MK akan menjaga maruah MK sehingga setiap keputusan benar-benar bersih dari kepentingan apapun. Sebab, yang diadili di MK antara lain terkait Pilpres, menyangkut persoalan besar yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Keputusan yang adilpun masih berpotensi menimbulkan riak-riak protes seperti terjadi pada Pilpres 2019 yang memunculkan demo besar-besaran sehingga jatuh korban 10 nyawa melayang dan berbagai kerusakan lainnya.
Keberadaan Anwar Usman di MK jelas masih mengotori dan merusak kepercayaan kepada MK. Pemecatanpun masih belum cukup apalagi hanya sekedar pemberhentian sebagai Ketua MK.
Mendung gelap sejatinya masih menggantung di dunia hukum negeri ini. Celaknya, mendung itu berada di atas institusi Mahkamah Konstitusi, gerbang keadilan terakhir yang bertugas menyelesaikan sengketa persoalan sarat kepentingan yaitu politik kekuasaan.
Jika mengacu beberapa investigasi beberapa media, tentang dugaan persengkongkolan dalam keputusan perkara nomor 90 itu, para ahli hukum perlu mencari jalan ke luar bagaimana agar sosok Anwar Usman diseret ke pengadilan umum. Langkah itu diharapkan dapat mengurangi ketakpercayaan kepada MK sehingga nantinya pada Pilpres 2024 dapat diminalkan berbagai ketakpuasaan para pihak yang bersengketa. Pemilu damai. Indonesia damai terhindari dari konflik horizontal. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H