Hukum itu hitam-putih. Hukum itu merupakan produk politik yang penuh kompromi. Politik secara riil penuh nuansa pertarungan kepentingan.
Tiga kalimat itulah yang belakangan berkelindan kait-mengait hingga hukum yang hitam-putih mengarah berubah pada ketakpastian, memercikkan berbagai interpretasi liar. Hukum di sini seperti dibawa mundur kembali ke titik awal kelahirannya “sebagai produk” politik penuh kompromis; penuh pertarungan politik. Merebaklah berbagai persepsi sehingga atmosfer wacana pun menebarkan penyakit keruntuhan moral sehingga intelektual kehilangan identitas. Politisi pun mencoba menyamarkan diri seakan intelektual. Itulah yang terjadi terkait perdebatan Pasal 83 UU Pemerintahan Daerah.
Sebenarnya tidak perlu sangat cerdas memahami Pasal 83 ayat (1) sampai ayat (5) UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengenai pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap Kepala Daerah yang berstatus sebagai Terdakwa. Membaca ayat (1) saja yang menegaskan bahwa “Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” siapa pun dapat memahami dengan gamblang.
Lalu apa persoalannya? Mengapa berkembang liar sehingga pasal 83 ayat 1 sampai 5 itu seperti keluar dari “kandang” kepastian menuju bola liar ketakpastian? Kepentingan politik. Itu jawaban paling sederhana yang bisa juga dipahami oleh siapa pun.
Ahok sejatinya secara hukum mengacu pada Pasal 83 UU Pemerintah Daerah harus non-aktif. Tetapi “menegaskan” posisinya melalui keputusan normatif terasa seperti membuang barang berharga terkait Pilkada Jakarta. Jika mengacu pada survei SMRC, yang dikenal relatif objektif posisi Ahok masih potensial memenangkan Pilkada Jakarta. Nah, sayang kan jika posisi bagus itu kemudian dibiarkan terpuruk melalui penegasan normatif penonaktifkan. Harus dimanfaatkan terlebih dahulu elektabilitasnya yang masih tinggi.
Maka diluncurkan berbagai spekulasi dan kontroversi yang mencoba mengaburkan masalah yang sebenarnya sudah jelas. Publik pun termasuk para intelektual, praktisi hukum asyik saling memberikan penafsiran Pasal 83 yang sebenarnya sudah terang-benderang.
Siapa yang berkepentingan? Sudah tentu PDIP yang kader aslinya Djarot sudah jelas tidak kuat jika pasangannya Ahok dibuat limbung melalui skema penonaktifan. Karena itu, biarkan dulu bola ditendang dari kaki ke kaki untuk mengulur waktu. Toh hanya perlu waktu beberapa hari saja semuanya akan jelas.
Menang atau kalah Ahok, tampaknya Kemendagri akan kembali pada ruh sesungguhnya dari Pasal 83 ayat 1 sampai 5. Bahkan, bisa jadi skenario paling ekstrem melalui kesalahan dugaan penistaan agama Ahok akan “diselesaikan”. Itu artinya jika Ahok menang, Djarotlah yang meneruskan kepemimpinan Jakarta di masa mendatang.
Tampaknya inilah yang sebenarnya berkembang terkait persoalan Pasal 83 UU Pemda, yang sebenarnya sangat jelas lalu dibuat tidak jelas. Ada dugaan memanfaatkan posisi “keruh” Ahok demi kepentingan PDIP, khususnya untuk memajukan kader asli Djarot, termasuk juga bagaimana agar Jakarta tetap menjadi lumbung suara PDIP.
Jangan lupa PDIP itu secara riil sebenarnya sangat terganggu dengan komunikasi politik Ahok yang tergolong buruk walau tidak menampik kinerjanya relatif baik. Sepak terjang komunikasi politik Ahok telah membuat sebagian besar kader PDIP di seluruh Indonesia ngedumel. Citra PDIP babak belur terimbas kasus Ahok. PDIP benar-benar menjadi bemper komunikasi politik “buruk” dari Ahok. Namun, di sisi lain masih diakui bahwa elektabilitas Ahok terkait Pilkada Jakarta masih relatif tinggi.
Tiba-tiba terngiang kalimat arif seorang senior. Di politik, katanya, bacalah yang tak tertulis dan dengarkan yang tak diucapkan. Yang sesungguhnya riil atau yang sebenarnya “nyata” sering yang tak tertulis dan yang tak diucapkan. Begitulah politik.