Suatu waktu saya jongkok di depan sebuah bangunan yang belum jadi di pusat Kota Jakarta. Saya bingung, jujur saja ketika itu. Alasannya, sepulang kerja tiba-tiba sebuah perasaan kosong serta merta menyerang.
Padahal, tidak ada yang perlu dikeluhkan hari itu. Saya menjalani rutinitas seperti biasa. Kondisi tempat kerja baik-baik saja, tidak ada drama. Bahkan bersama beberapa rekan saya tertawa-tawa. Pekerjaan pun saya selesaikan terbukti dengan mengalir derasnya ucapan terima kasih.
Namun, langit biru gelap dan papan reklame di beberapa pangkal gedung menjadi saksi, betapa saya dibuat lemas sekaligus cemas oleh sebuah blitzkrieg. Ada apa ini? Batin saya berkali-kali sambil terhuyung di antara berjubel orang yang bergegas.
Bunyi-bunyi klakson, pekikan abang ojol yang parau, dan denting sepeda "starling", kian membuat pusing. Hingga saya putuskan menepi dulu sambil memesan ojek online agar bisa segera pulang.
Memang apa yang diharapkan tidak melulu sesuai rencana. Ingin segera pulang dan langsung terkapar di kasur, saya malah dihadapkan dengan tarif yang sangat tinggi di aplikasi. Wah, kenapa lagi ini? Bisa-bisanya tarifnya dua kali lipat begini? Gerutu saya dalam hati.
Mohon maaf kalau terdengar norak. Buat saya yang cuma staf biasa dan seorang perantau yang harus bayar ini-itu di Jakarta, kenaikan tarif bisa sangat signifikan efeknya. Terlebih jika akhir bulan, berburu diskon dan promo sering menjadi obat mujarab untuk menghemat. Sialnya, hari itu benar-benar tidak ada diskon dan promo. Hadeuh.
Maka lengkaplah penderitaan saya. Tidak ada pilihan lain, saya harus menunggu sampai tarif menjadi normal. Sekira satu jam? Apa boleh buat. Alhasil, berjongkoklah saya di depan bangunan setengah jadi yang disinggung tadi.
Tetapi, aktivitas yang awalnya terpaksa ini tak disangka-sangka malah membuat pikiran saya lebih terbuka. Serangan mendadak yang membuat sekujur tubuh saya lemas, sedikit demi sedikit mulai terurai. Ditemani seduhan kopi di gelas plastik, saya menerawang jauh ke hari-hari yang telah lalu. Dan, voila! Mungkinkah serangan ini terjadi karena belakangan saya sangat cemas akan "kehabisan waktu".
Ya, kehabisan waktu. Hidup di area urban saya pikir berbeda sekali dengan masa hidup saya di perdesaan semasa kecil. Di sana waktu seakan berjalan lambat, dan itu masih saya rasakan hingga kini saat sesekali pulang mengunjungi orangtua di kampung halaman.
Embun yang menempel di daun-daun, kicau genit burung yang menimpali lenguh kerbau, ayam yang sejak subuh berkokok angkuh, membuat waktu begitu padat dan terasa bermakna. Dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang seperti 12 jam kerja di Jakarta, dengan suasana yang lebih menenangkan dan menyenangkan pastinya
Ah, saya mungkin cuma terserang rasa kangen. Kalau kata Raisa terjebak nostalgia. Bisa ya, bisa juga tidak. Ya, karena semuanya itu bermula saat saya merasakan betapa waktu sudah tidak bersahabat lagi. Saya merasa dijajah oleh waktu mekanis yang mengatur saya jam segini harus melakukan ini, dan jam segitu harus melakukan itu. Dan tidak, sebab mungkin saya terlalu melankolis dan sentimentil dalam membandingkan antara kehidupan urban dan alam desa;