Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Iqbal Awaludien

Penulis konten suka-suka!

[Opini Pilkada 2017] Antara Mereka yang di Atas Pentas dan yang Terhempas

Diperbarui: 20 November 2016   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Republika

Namanya juga hidup. Pasti ada di atas, pasti juga di bawah. Apalagi jika hidup sudah kita posisikan sebagai ajang kompetisi, di mana berbagai kepentingan bergelut di dalamnya, bergesek-gesekan,  sehingga memunculkan yang berada di atas pentas di antara yang terhempas.

Di dunia politik negeri Paman Sam misalnya, baru saja kita saksikan Hillary Clinton, seorang politikus kawakan dan mantan menteri luar negeri, terhempas oleh taipan properti dan dunia hiburan, Donald Trump. Yang disebut terakhir menjadi presiden terpilih, berada di atas pentas, meski berbagai protes bermunculan di beberapa penjuru negara adikuasa tersebut.

Itulah namanya kompetisi. Dan hidup sebetulnya tidak bisa terlepas dari konteks itu. Bahkan kita mewujud jadi manusia pun, saat ini, adalah dari “sprema pemenang” yang mengalahkan berjuta-berjuta lainnya, betul kan?

Namun adakalanya, keterhempasan hidup tak hanya disebabkan persaingan sehat, head to head, fair play, atau sikap dewasa. Banyak contoh keterhempasan, baik menyangkut individu maupun kelompok lahir dari keculasan, kedzoliman, kerakusan dan keserakahan dari segelintir orang atau golongan yang ingin menindas yang lain.

NAZI dan Zionisme Israel sampai ISIS. Atau yang paling baru adalah pembantaian etnis di Sudan Selatan dan di Myanmar yang menimpa Muslim Rohingya adalah beberapa contohnya.  Ada kelompok manusia, dan ini nyata, yang merasa lebih tinggi dari manusia lainnya. Karena merasa tinggi dan lebih baik, mereka ini ingin di atas pentas dengan menghalalkan segala cara, mulai dari memersekusi, mengeksekusi, membantai, memerkosa dan menghilangkan nyawa, saudara-saudaranya sendiri yang dianggap lemah. Menghempaskan para korbannya, tak lebih sebagai kotoran, merampas hak yang paling hakiki manusia: kehidupan.Demi apa? Supremasi politik? Perebutan sumber daya? Balas dendam? Atau yang lebih epik lagi, seperti kata Alfred Pennyworth, 

“Some men just want to watch the world burn?”

Dan ini nyata, karena sejarah mencatat ada beberapa individu manusia yang hanya ingin membakar dunia dan membuat gaduh peradaban. Sebut saja Nero, Hitler, dan Al Baghdadi. 

Konteks Indonesia

Bersyukurlah kita karena masa-masa pergolakan, masa-masa penghilangan nyawa yang didorong oleh motivasi politis, ras, etnis, agama dan golongan seperti yang terjadi di belahan dunia lain telah lewat. Masa Westerling dan yang membantai penduduk Sulawesi dan Jawa Barat tinggal kenangan. Begitupun masa pemberontakan tahun 50-an, pembantaian akibat peristiwa G30S, Timor Timur, Petrus, 98, GAM sudah selesai.

Kita sudah selesai dengan penghalalan segala cara untuk berada di atas pentas. Bangsa Indonesia sudah dewasa, dapat hidup berdampingan satu sama lain secara harmonis, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Memang masih ada riak-riak kecil dari segelintir oknum yang hendak membuat rusuh dan mengacaukan iklim kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Tapi inipun tidak bisa kita jadikan pembenaran atau landasan untuk sama provokatifnya dengan oknum-oknum tersebut sehingga kehilangan nalar lalu saling menyalahkan satu sama lain, saling membenci hanya karena berbeda kubu dan keyakinan, apalagi sampai bertindak anarki. Jangan sampai negara kita tercinta ini, yang sedang giat-giatnya membangun kehidupan yang adil dan beradab, kembali ke masa-masa kelam hanya karena rakyatnya yang reaktif dan mudah terporovokasi.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline