“…….media massa tidak pernah membawa kebenaran mutlak,
karena selalu ada hal-hal yang sengaja tidak ditampilkan
dengan maksud suatu impresi yang diinginkan satu kelas politik (ruling class)”
–Noam Chomsky
Kehidupan kesusastraan, seperti banyak dibahas oleh para pakar dan kritikus, sedang diambang kepunahan. Tidak terhitung suara miring dan pesimistis, mengenai apakah sastra akan bertahan dalam laju digitalisasi dan banalitas informasi. Pertanyaan yang sebenarnya bisa juga disebut pernyataan karena dengan premis awal yang dikuti tanda tanya (?) jelas-jelas berusaha mengungkap keterancaman; kematian sastra.
Pandangan seperti ini cukup akurat, kondisi faktual kesusastraan saat ini memang sedang diancam eksistensinya oleh apa yang disebut zaman networked society. Zaman dengan akses tanpa batas, yang mana setiap individu bisa mendapatkan c(b)erita terbaru dari sebuah tempat berjarak ribuan mil jauhnya hanya dalam hitungan detik. Juga berhak berkomentar, berkicau, bahkan memaki sebebas-bebasnya dalam ruang maya yang terhubung secara otomatis dengan yang lain. Sastra sebagai salah satu domain utama peradaban, hidup dalam mentalitas zaman seperti ini. Mentalitas yang mengubah karya-karya sastra, yang awalnya lahir dari balik benteng istana dan pusat ilmu pengetahuan. Disebarkan dari para bijak bestari, seniman, ilmuwan, pengelana, musafir, dan ulama kepada setiap manusia melalui pengajaran dan penaklukkan. Saat ini, bisa dijumpai di mana saja; di toko-toko buku, loakan, atau sudut perpustakaan berdebu, di blog-blog, bahkan cuitan social media.
Namun, kenyataan tersebut tentu tidak bisa diterima dengan pasrah. Bukankah tidak etis dan bertanggung jawab jika para sastrawan sebagai entitas yang memiliki privilese memelihara kehidupan sastra, bahkan di luar mereka—masyarakat yang mencintai dan peduli akan keberlangsungan hidup sastra—terus menerus mengeksploitasi lantas memproklamirkan wacana kematian sastra. Sudah tahu keadaannya begini dan kenyataannya begitu, justru terus menerus menyuarakannya. Jika keadaan ini terus bertahan, bisa diibaratkan: lahan, sekop, nisan sudah tersedia dan para pelayat sudah menunggu di depan liang kubur yang belum terisi tubuh sastra yang sekarat. Semua hanya bisa meratap, berkabung tanpa sempat berfikir menyelamatkan tubuh sastra supaya tidak jadi dikubur. Dan, jikapun memang tubuh itu jadi mati, secepatnya harus dicari bagaimana caranya melahirkan kembali tubuh-tubuh baru yang lebih segar, tidak penyakitan, dan penuh vitalitas.[1]
Masa Depan Sastra
Asumsi yang menyatakan bahwa kekuasaaan represif-otoriter mengancam keberlangsungan dan kehidupan kesesasteraan sesungguhnya tidak begitu tepat. Bukankah setiap karya monumental, eternal, dan menjadi semacam monumen peradaban lahir dari sebuah kondisi paling getir. Kondisi yang berkelindan dengan otoritas yang membekap suara-suara dan menyekap kata-kata.
Sebut saja, satu contoh terdekat, Pramoedya Ananta Toer yang menghasilkan Tetralogi Buru ketika dirinya dirampas hak hidup dan kebebasannya oleh Orde Baru. Atau untuk menyebut beberapa nama seperti Solzhenitsyn yang menulis Gulag di Siberia, kemudian Gao Xingjian yang menghadirkan mahakarya-nya Soul Mountain dalam pengasingan, lalu One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel Garcia Marquez di bawah pemerintahan diktator Kolombia Laureano Gomez, dan seterusnya.
Mungkin salah satu, jika tidak malah satu-satunya penyebab sastra kehilangan daya pikat, daya ungkap, dan daya gugah yaitu disebabkan sastra sudah kehilangan musuh. Yudi Latif dalam Menyemai Karakter Bangsa mengatakan, “kesastraan dalam transisi demokrasi ini adalah menyediakan budaya tanding bagi fanatisme dan banalitas” (Yudi Latif, 2009: 73). Hal inilah yang hilang dari sastra dewasa ini. Sastra sudah tidak mampu, alih-alih menandingi, ia malah menjadi bagian dari kekuasaan. Yang kemudian dilestarikan, lebih fatal lagi bergantung eksistensinya pada kekuasaaan baru yang secara implisit disebut oleh Faruk, Radhar Panca Dahana, dan Seno Gumira Ajidarma berada dalam media.[2]