Lihat ke Halaman Asli

Min Adadiyah

nakes ahli gizi, pembelajar manajemen abadi

Mekar seperti Matahari 12

Diperbarui: 20 November 2023   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Aku memanggil Hugo masuk ke dalam rumah. Pelan-pelan aku harus menyampaikan mengenai hal ini. Dia harus tahu yang sesungguhnya. 

Kesunyian kamar membuat suara jam dinding terdengar nyata. Jam dinding kuno yang kubawa dari rumah di desa tempat di mana aku dibesarkan. Desa yang mengajarkanku mahir berenang meski tak ada kolam renang, desa yang mengajarkanku berlari melayari bukit tanpa rasa lelah yang berarti. Hanya fokus pada tujuan akhir. Memenangkan permainan. Permainan yang  membawaku ke mana-mana namun akhirnya tiba di finish yang tak terlalu jauh dari startnya. Aku sudah tiba ke satu keyakinan namun tak akan pernah benar-benar yakin kecuali bersandar pada Sang Maha Pencipta. 

Hugo mengamatiku mengeluarkan sebuah buku berwarna biru. Biru yang sudah amat aus karena saking seringnya dibuka, buku yang akhirnya berpindah tangan karena Lyla merasa aku lebih tepat untuk mengawalnya. Kusodorkan buku itu perlahan ke arahnya. 

"Mami ingin kamu baca dulu buku ini. Jurnal yang ditulis nenek buyutnya Medina. Kini sudah saatnya kamu merealisasikannya." ujarku perlahan. Hugo berkerut kening. Dia menerima buku dari tanganku, aku melepaskan sampul pembungkusnya yang berupa map kulit berwarna hitam kombinasi abu-abu. Ada stiker bertuliskan sahabat keluarga.kemdikbud.go.id. Warna putih, biru dan kuning. Kombinasi yang cukup mencolok. 

"Kamu bawa aja dulu, mungkin butuh beberapa waktu untuk menyelaminya, tapi mami berharap tak begitu lama. Ini sudah hampir 7 tahun dari sejak kamu dinyatakan berhak mengelola GPT. Sudah waktunya meningkat lebih tinggi lagi. Bismillah." ucapku sambil menepuk bahunya perlahan. Semoga tepukan di pundaknya cukup menyalurkan energi yang memang tak pernah akan hilang. Persis sebagaimana rumus kekekalan energi ditemukan oleh Einstein. E= MC kwadrat. Kini ilmu itu milik kami, kami ambil alih sepenuhnya. Hingga ke angka di belakang koma. Rigit. 

Hugo mengangguk dan bertanya sebelum beranjak. 

"Mami tadi bilang ini dari nenek buyutnya Medina? Apakah Medina pernah tahu mengenai buku ini?" tanyanya. Aku mengangguk pasti. 

"Dia sangat hafal isi dan tata letak tulisan dalam buku itu, tapi dia tidak paham apa yang harus dilakukannya. Kamu yagn paham. Nanti. Insyaallah setelah kau hubungkan dengan buku-buku yang sejak kecil sudah mami minta kamu membaca dan hafal di luar kepala."

Aku mengacu pada deretan buku  berbahasa Jerman dan Belanda yang ada di almari buku Hugo. Dia sudah hafal di luar kepala dan mempraktikkan seluruh isinya. Persis sebagaimana pesan yang disampaikan para tetua. Dia tidak akan pernah lolos dari ujian manajemen filantropi bisnis keluarga jika dia tak pernah menghatamkan semua isi buku itu. Kini, saatnya dia mengakses posisi lebih tinggi. Peta Trip Sidratul Muntaha ada di dalamnya. Peta gila yang hanya mungkin disusun oleh orang yang  juga pasti bisa dibilang gila. Namun aku yakin seyakin-yakinnya, nenek buyut Medina bukan orang gila, beliau hanya sama ambisiusnya seperti Genda. Tak pernah menjejak benar-benar di bumi karena sesungguhnya mereka adalah bidadari langit yang diturunkan ke bumi. Tak pernah lelah mendulang rahmah. Tak henti berusaha menepati berbagai janji yang telah dibuat para leluhurnya.   Kini, akupun harus menunaikan janji leluhur. Melalui pertukaran yang sedang aku proses dan melalui jejak langkah Hugo di dunia kesehatan. 

Sudah mendekati waktunya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline