Lihat ke Halaman Asli

Min Adadiyah

nakes ahli gizi, pembelajar manajemen abadi

Mekar seperti Matahari 11

Diperbarui: 4 November 2023   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

"Mam..."panggil Hugo perlahan ketika sore itu dia mendapatiku sedang memotong beberapa tangkai melati. Pekerjaan resmiku setelah aku menyatakan pensiun, berkebun. Tak seburuk yang aku pikir sebelumnya, berkebun dan merawat rumah ternyata benar-benar satu hal yang mengasyikkan. Dulu, hal-hal semacam ini tak pernah menjadi prioritasku. 

"Ya? Agge tidur ya?" tanyaku ketika sekilas melihatnya  berdiri saja. Tak ada Agge dalam gelendotannya. 

"Iya." jawabnya pendek sambil mendekat ke arahku. Rumpun mawar di dekat kakinya bergoyang. Dia duduk  persis di  kursi taman berwarna merah yang sudah pudar warnya namun masih nyaman untuk diduduki. 

"Medina siang ini memverifikasi proposal yang masuk, katanya salah satunya ada proposal mami. Mami beneran mau beli senjata?"  tanya Hugo hati-hati tapi  terlihat lugas. Aku tidak langsung menjawab namun tersenyum lebar. Aku tahu pertanyaan ini akan muncul. Medina tidak mungkin langsung approval ajuanku meskipun awalnya dia seakan-akan pasti akan memberikan apa yang aku mau. 

"Kamu tentu gak keberatan?" tanyaku. 

Hugo berdehem sejenak. 

"Antara gak keberatan sama memperkirakan apakah ini memang harus dikeluarkan, mungkin mami bisa kasih penjelasan dulu lebih detail mengenai penggunaan senjata itu nantinya. Aku rasa 200 M bukan angka yang sedikit tapi kalo untuk membeli senjata rasanya perlu ada pertanyaan tambahan ya? Ini tentunya bukan senjata untuk koleksi mami kan?" selidik Hugo.  Aku menggeleng. Kuletakkan gunting potongku di dekat meja di samping Hugo.  Kursi lain di sebelahnya aku duduki. 

"Mami sudah lama tidak ada koleksi senjata apapun juga, tapi rasanya Mami tidak bisa diam melihat  semua proses ini terus terjadi." keluhku perlahan. Konflik yang terjadi di Gaza terasa semakin perih menyayat hati. Bukan satu dua kali kami mencoba menuntaskan apa yang telah pernah dimulai namun semakin hari terasa semakin parah saat ini. 

"Mami tidak mungkin juga akan pergi ke medan tempur kan?" tanya Hugo. Sungguh, pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Aku dengan usiaku, mungkin mereka pikir aku memang telah pensiun seperti hal nya apa yang  secara hukum negara berlaku. Namun, aku memang tidak pernah meninggalkan medan tempur manapun. Aku  yakin Hugo memang tak pernah tahu, demikian pula kakaknya. Medan yang sedang kami lewati tak pernah sama dengan apapun yang pernah digambarkan di media manapun. Namun, kali ini aku tidak mungkin tidak menggunakan sumber daya  apapun yang tersedia. Apapun yang tersedia, harus aku upayakan untuk menyatakan diri mengenai keberpihakan kami. 

"Atau sebenarnya,  maksud Mami ada unit yang akan mami beli lagi? Hanya peruntukannya beda? " tanya Hugo. Beberapa tahun ini memang kami fokus membeli tambahan unit heli. 

Aku terdiam lama. Antara harus bercerita mengenai apa sebenarnya yang sedang aku maksudkan atau membiarkan saja semua ini tanpa perlu diketahui anak-anakku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline