Lihat ke Halaman Asli

Min Adadiyah

nakes ahli gizi, pembelajar manajemen abadi

Mekar seperti Matahari - 6

Diperbarui: 30 April 2023   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Bawah Bukit Pendem, Temanggung. Beberapa dekade sebelumnya. 

"Tapi Kakek,  kata Mama, aku boleh ikut belajar mengaji di tempat Lyla." rengekku. Kakek, aku menyebut beliau kakek, beliau sebenarnya adalah kakek buyutku, hanya melirikku sekilas. Beliau adalah kakak dari kakek buyutku, tepatnya. Entahlah, rumit sekali nasabku. Aku hampir putus asa menghafalkan jalur nasab yang harus aku pelajari sejak aku kelas 4 SD ini. Lebih aneh lagi, dari semua yang disebut sebagai kakek buyut, nenek buyut, mama, ibu, tante, tak ada satupun yang bule. Aku satu-satunya. Namun aku benar-benar anak dari ibuku yang melahirkanku dan meninggalkanku  saat aku belum begitu mengenalnya. Nampaknya itu, satu-satunya pengikatku bernasab dengan keluarga ini. 

"Kek..." usahaku sekali lagi. Kali ini aku mendapat perhatian. Beliau sejenak melepas kaca matanya. Topi kaji berwarna putih digeser sejenak dan beliau menghadapku. 

"Memangnya Lyla mengaji apa kali ini?" 

"Nggak tahu, kan aku belum pernah ikut, tapi ngaji di serambi masjid itu seru Kek, nggak sepi kayak di mushola Kakek." ujarku. Setelah kupikir-pikir, pernyataanku saat itu benar-benar jahat. Bagaimana mungkin aku minta ijin  untuk mengaji pada orang lain, sedangkan kakekku saja seorang guru ngaji. 

"Ya sudah, kamu boleh ikut ngaji di tempat Lyla, tapi yang sore saja ya. Malamnya, kamu tetap harus ngaji sama Kakek." pinta beliau. Aku mengangguk cerah. Tak peduli apapun syaratnya, aku merasa ijin untuk bersama Lyla adalah sebuah hadiah istimewa. Ramadhan tahun kemarin, hampir seluruh pemenang kejuaraan di desa ini adalah para peserta dari tempat kakeknya Lyla mengajar mengaji. Aku tidak tahu apa saja yang mereka pelajari. Fakta berbicara : juara lomba sholat, juara lomba ngaji, juara lomba cerdas cermat, juara lomba pidato, hampir semuanya dari sana.  

Sejak saat itulah aku paham. Mereka menamai pelajaran mengajinya dengan sebuah nama. Madrasah Ibtidaiyah. Agak mirip suasana nya dengan sekolah dibanding dengan mengaji di mushola kakek. Mereka bahkan duduk di kursi dan menghadap meja seperti halnya sekolahku. 

"Lyla, kalo begitu kamu sekolah dua kali ya? Pagi dan sore kah?" tanyaku setelah Lyla benar-benar membawaku ke tempat mengajinya. Setelah mendapat ijin dari kakeknya, tentu saja. Namun, rupanya di tempat mengaji yang mirip sekolah ini, aku tak pernah menjumpai kakek Lyla. Beliau hanya mengajar saat ba'da maghrib. Hanya cucu dan orang-orang terdekat yang bersama beliau. Lyla salah satunya. Aku tak pernah tahu apa yang diajarkan.  

Lyla mengangguk lucu. Ekor kudanya bergoyang. 

"Jadi, itu sekolah atau mengaji?" tanyaku penasaran. Lyla meringis. 

"Ya, terserah kamu mau nyebutnya apa, tapi kalo yang aku tahu ini namanya ngaji." ujarnya setelah beberapa saat. Aku mengangguk. Aku mungkin akan melihat dulu saja prosesnya. Tetap lanjut jika menyenangkan tapi aku akan berhenti jika aku kesulitan. Masak, sehari sekolah dua kali? Ada-ada saja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline