Inspirasi menulis catatan kali ni berasal dari kebiasaan saya menandai sesuatu. Sudah sejak beberapa bulan lalu saya ingin menuliskan sebuah kisah mengenai tanggal 13-15 Maret 2020. Sebuah perjalanan bersejarah. Khususnya untuk saya, suami dan anak saya. Tanggal itu merupakan tanggal terakhir kami berperjalanan sebelum akhirnya Indonesia menetapkan darurat pandemi covid 19.
Tanggal 13 Maret 2020 malam hari, sekitar pukul 19.30 hingga 20.30, kami bersiap menuju ke Jawa Timur. Tepatnya menuju Bromo. Ini adalah perjalanan wisata kantor setelah sebelumnya kami berjibaku dengan proses akreditasi RS. Masing-masing keluarga memiliki hak untuk pergi bertiga. Kebetulan si kakak tidak bisa mengikuti karena kesibukan kegiatan kampusnya, sehingga saya bersama suami dan si adek.
Maka dalam gelapnya malam itu, sejumlah bus yang berisi sebagian besar keluarga karyawan wisata tahap I bergerak menuju lokasi. Dari lini masa di email saya, tercatat Sabtu, 14 Maret 2020 pukul 04.45 kami tiba di jalan Raya Bromo 119. Berupaya mengejar sunrise, rombongan menjalankan sholat subuh di salah satu masjid yang ada di kanan jalan perjalanan menuju puncak. Ini setelah sebelumnya kami berganti kendaraan. Beralih dari bus ke puluhan jeep dengan aneka warna.
Ditemani jaket, hoodie dan kaos tangan, jeep yang kami tumpangi merayap naik menuju lokasi. Di tengah perjalanan itu, salah seorang dokter yang juga manajer pelayanan yang ada di rombongan menghubungi saya. "Ada edaran tentang darurat Covid 19. Gimana baiknya? Kita bawa rombongan pulang atau jalan terus menyelesaikan agenda?"
Pilihan yang cukup pelik. Untuk kami, ini memang sesuatu yang baru, tapi kami sadar bahwa sangat penting bagi kami untuk mematahi edaran itu, tapi di sisi lain, rombongan yang berjumlah sekitar 200 orang ini tentu belum semuanya maklum. Maka, di tengah kabut Bromo, kami memutuskan brifing kecil bersama rekan-rekan manajer yang ada di rombongan plus salah seorang ustadz.
Keputusannya, perjalanan kita selesaikan disertai berdoa bersungguh-sungguh agar kita semua mendapat perlindungan dari wabah ini. Pukul 10.18 kami sudah turun dan bersiap untuk makan pagi yang kesiangan. (di lautan pasir tadi, sebagian anggota rombongan sudah makan pagi ringan yang bisa dibeli dari pedagang makanan yang ada di sana. Ada berbagai pilihan semacam mie instan, bakso malang, nasi bungkus rames, jagung bakar, sate lontong, dsb).
Maka kami pun melanjutkan perjalanan menuju lautan pasir dan kemudian menuju Pelabuhan Tanjung Tembaga untuk bertolak ke Gili Ketapang. Kami menumpang kapal fery selama sekitar 23 menit (konon dengan jarak tempuh sekitar 6.5 km, dan waktu tempuh 9 menit). Sampai di Gili Ketapang, rombongan bersiap untuk sholat dhuhur dan asar jama'. Sebagian besar anggota rombongan masih berani menyelam dan menggunakan alat untuk snorkling. Sebagian lagi sudah berusaha menjaga untuk tidak menggunakan alat yang bersinggungan dengan orang lain. Tapi di antara kami semua, praktis belum ada yang mengenakan masker untuk perlindungan. Kami masih makan siang (sore tepatnya) dengan lauk ikan laut panggang dan cumi-cumi bersama-sama. Belum ada social distancing.
Pukul 18.55 hingga 20.04 kami melaksanakan sholat maghrib dan isya di lokasi tempat belanja tas dan sepatu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju lokasi makan malam. Kali ini makan malam pun mundur dari jam makan malam normal. 21.33 hingga 22.27. Sesudah semua rombongna selesai makan dan belanja sekedar oleh-oleh, kami pun kembali berperjalanan menuju Jawa Tengah.
Maka dimulailah isolasi mandiri 14 hari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H