Awal tahun 2021 disambut dengan kehadiran hujan di pelataran rumah. Dia datang tanpa permisi. Begitu heboh seolah baru saja diusir, oh maaf, seolah ditumpahkan dari langit. Loncat-loncat bahagia merayakan kebebasan dari perut awan yang kegendutan.
Tidak begitu paham apa misi hujan kali ini. Dugaan sementara dia menyerupai jawaban doa-doa para kaum jomblo. Hujan deras adalah satu harapan para kaum jomblo untuk mengawali tahun. Biar tidak ada orang ramai-ramai berkerumun di luar sambil mainan kembang api.
Hujan adalah keributan yang selalu dirindukan untuk menyapa kembali. Meski belakangan hujan sering jual mahal atau malas untuk berkunjung.
Bagi kaum perindu, hujan adalah harapan baru. Sebagai anak petani yang lahir dan besar bersama hasil tani, kiranya cukup bagi saya memahami betapa hujan adalah kerinduan para tanaman setelah dihajar kemarau satu semester.
Bersama hujan, rasanya bisa kudengar nyanyian alam nan elok. Begitu sopan menerobos gendang telinga.
Panah-panah hujan menabrak genteng rumah menghasilkan alunan melodi syahdu. Serupa musik pengantar tidur.
Sebagian orang membenarkan jika hujan adalah teman baik sang tidur. Tapi bagaimana dengan sebagian yang lain?
Hujan dan kenangan
Meski hujan adalah waktu terbaik untuk tidur, tidak selamanya begitu untuk saya dan beberapa kawan.
Setidaknya ada satu kenangan di mana hujan pada masa itu membuat saya tidak bisa tidur. Justru menghadirkan rasa was-was. Ya, saya sempat ketakutan karena air hujan membasahi seluruh sudut rumah.
Saya dan mama terpaksa terjaga sebab genteng rumah yang memprihatinkan. Bagaimana bisa kami memejamkan mata sementara anak panah hujan begitu santer mengoyak kasur dan tumpukan buku di meja.