Lihat ke Halaman Asli

Mimpi Itu Bayar

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bagi sebagian orang, mimpi bagaikan udara. Mereka tak bisa bidup tanpa mimpi. Perjalanan mereka bisa buta tanpa arah. Puluhan, ratusan, hingga ribuan buih-buih mimpi mengalir bersama aliran darah mereka. Pikiran mereka bekerja siang malam untuk membuat kenyataan yang diinginkan. Kaki mereka melangkah dengan tujuan. Tangan mereka mengayun sederas tekad yang membaja. Bersama orang-orang ini, hadirlah berbagai buku-buku dan film-film motivasi. Workshop dan seminar tentang menggapai mimpi pun menjamur. Mereka berteriak dengan lantang dan suara meyakinkan,”Nothing’s impossible!” Mulailah bermunculan, cerita – cerita tentang seorang anak manusia yang hidup dalam kondisi serba keterbatasan, kemudian mampu menerjang batas dan menggapai mimpi besar yang dimilikinya, yang dulu banyak ditertawai orang.

Disisi lain, kenyataan tak hentinya menunjukkan bahwa kehidupan tak seindah impianmu. Berpikirlah realistis, berpijaklah pada fakta gambar kehidupan yang sekarang kau hadapi. Ikan tidak mungkin bisa terbang tinggi mengitari langit yang biru. Begitupun burung tak mungkin bisa menyelami lautan yang dalam seperti ikan. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contoh, lihat saja acara audisi talent, seperti Indonesian Idol. Tak sedikit kontestan yang mengundang tawa juri dan penonton. Padahal semangat dan mimpi mereka tinggi. Ketika ditanya,

“Kenapa kamu mau ikut audisi ini?”

“Saya mau memajukan industri musik di Indonesia dengan cara menjadi penyayi yang berkualitas.”

Namun, sudah berkali-kali ikut audisi, masih tidak dapat juga.

Apa yang salah disini? Bukankah katanya, Nothing’s impossible!

Samurai Akio

Saat masih studi di Manchester, aku punya seorang teman dari Jepang, namanya Akio. Orangnya lucu, suka humor, dan enak diajak ngobrol. Karakter yang umumnya bisa ditemui dari orang Jepang. Setelah beberapa bulan aku tinggal di Manchester, Akio menyelesaikan studi PhD-nya di bidang Material Development. Dia bertekad untuk mencari kerja di Inggris. Namun, sampai Visa studentnya habis, dia tak kunjung dapat kerja juga. Diapun harus apply visa kerja selama 2 tahun yang waktu itu masih ada. Angka bulan menginjak 6, dia masih nganggur.

Sering kulihat dia ke dapur membawa beberapa bungkus mie. Mungkin keuangannya mulai goyah. Hidup di Inggris tanpa penghasilan tambahan bukanlah hal yang mudah. Ditambah lagi usianya yang sudah kepala tiga, serta jauh dari keluarga. Aku pernah bertanya, kenapa dia tidak mau kerja sambilan dulu, seperti di pom bensin, mini market dan lain sebagainya. Setidaknya honor dari sana bisa buat makan sehari-hari. Hal ini berkali-kali aku sampaikan padanya. Aku tak ingin dia kecewa nantinya tak dapat kerja, karena Inggris sedang mengalami krisis. Angka pengangguran dalam negeri meningkat. Perusahaan akan lebih mengutamakan pekerja dalam negeri ketimbang bukan orang asli. Banyak biaya dan hal yang harus diurus oleh perusahaan jika menerima pekerja bukan orang asli Inggris. Tapi, berkali-kali pula Akio menolak saranku itu. Siang malam dia habiskan mencari informasi lowongan kerja di Internet dan job centres. Sudah berkali wawancara kerja diikutinya, tak dapat juga.

Disuatu hari mendekati kepulanganku ke Indonesia, ada kabar kalau Akio diterima kerja disebuah perusahaan didaerah tak jauh dari Manchester. Aku gembira sekali. Malamnya, kami berkuumpul di dining room. Akio menceritakan semuanya dengan wajah yang sumringah. Aku malu pernah menyarankan untuk mengubur impiannya itu. Aku mungkin bisa menyesatkannya saat itu. Beruntung, Akio teguh dengan pendiriannya dan tetap tekun mencari peluang walaupun hampir setahun menganggur. Dia sungguh memahami apa yang diinginkannya dan tak terhiraukan untuk meninggalkannya.  Layaknya seperti seorang samurai yang tak gentar dengan kepedihan yang mengangkang dihadapannya. Dijaganya mimpi bak seorang samurai yang menjaga tuannya. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk melepaskan mimpi, dan berakhir sebagai Ronin. Dia tidak melihat pada kepedihan, tapi pada apa yang ada dibalik kepedihan itu – Mimpi besarnya.

Cerita Akio ini hanyalah satu dari ribuan cerita orang-orang yang sukses menggapai mimpinya. Banyak orang yang senang melihat dan bertemu orang-orang sukses. Orang-orang sukses itu tersenyum, tapi sedikit yang tahu apa yang terjadi saat senyuman itu belum terbentuk. Tangis air mata yang mungkin sampai kering tak basah lagi. Hal ini terjadi karena kebanyakan orang tidak melihat bagaimana kamu memulai, tapi mereka melihat bagaimana kamu mengakhiri. Coba saja misalnya, sosok Arai dan Ikal dalam sekuel cerita Laskar Pelangi atau Alif dalam cerita Negeri Lima Menara gagal kuliah ke luar negeri dengan beasiswa. Adakah yang akan membaca buku dan menonton film ini? Kepedihan hidup mereka terasa indah dinikmati, karena mereka berhasil mengakhirinya sesuai dengan apa yang diimpikannya. Padahal, kalau mau melihat kenyataan, ada ribuan bahkan jutaan orang diluar sana yang terbuai dengan membangun impian sebesar-besarnya, tapi berakhir dengan tragis, gagal. Lantas siapa yang salah?

Mimpi itu Bayar

Ketika sesuatu terjadi pada diri anda, maka itu pasti kesalahan anda. Mau anda ditipu atau dicuri, tetap saja itu terjadi karena anda melakukan kesalahan. Karena hanya dengan cara seperti ini, kita dapat memperbaiki diri dan akhirnya kondisi. Begitu juga dengan mimpi, pahamilah kalau mimpi itu bayar. Siapa yang bilang mimpi itu gratis? Kalau anda bermimpi tapi tak bayar, anda tak bertanggung jawab. Anda seperti seseorang yang makan disatu restoran, kemudian berlalu tanpa meninggalkan uang sepeserpun atas apa yang sudah anda makan.

Mimpi itu bayar. Bayarnya tidak pakai uang, tapi menggunakan keyakinan, keberanian, dan semangat yang besar untuk berjuang mewujudkannya. Di salah satu episode audisi Indonesian Idol, ada kontestan yang bernyanyi sambil mendengarkan HPnya. Tak hafal lagu. Ada juga yang hafal hanya satu lagu Indonesia, padahal penyanyi favoritnya Britney Spears tapi tak ada yang tahu lagunya. Ada yang berkali-kali ikut audisi, tapi gagal. Kenapa? Coba lihat apa yang dia lakukan untuk mempersiapkan diri – tak sebanding dengan mimpinya itu.

Semua mimpi itu punya harga. Harga yang harus dibayar si pemimpi. Besar harga yang harus dibayar sebanding dengan besarnya mimpi itu. Jangan coba-coba mimpi tak bayar. Bakal kecewa dan jadi bahan tertawaan. Kalau tak sanggup bayar mimpi yang kau miliki, jangan mimpikan itu. Memang tidak ada yang mustahil bila Tuhan mengizinkan, tapi izin-Nya itu turun dengan seiring kepantasan diri kita untuk itu. Kepantasan ini hanya bisa dicapai dengan jerih payah – harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi yang dimiliki. 

We’ve got to get through hell to get to heaven – Mimpi itu bayar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline