Lihat ke Halaman Asli

Sedihnya Melihat Beasiswa Dikti dan Presiden

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1396573380509535076

[caption id="attachment_318384" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi, sumber: http://www.npsk12.com/ "][/caption]

Jujur sebenarnya pagi ini rencana awalnya adalah selesai shalat subuh, kembali berbaring di tempat tidur. Mata terasa berat sekali, karena malam tadi habis nonton The Raid 2 dan Liga Eropa. Tahu sendiri film The Raid gimana. Walaupun kita cuma nonton, rasanya tulang-tulang kita ikut remuk juga. Bola pun hasilnya tidak mengecewakan, Juventus, tim favorit saya menang!

Namun, setelah shalat subuh saya sempatkan membuka Facebook sebentar, dan ternyata ada teman yang share BERITA itu lagi! Berita yang katanya menggembirakan, tapi bagi saya itu sangat mengecewakan untuk anak-anak Indonesia. Katanya kesempatan untuk belajar, tapi percayalah hanya segelintir anak-anak Indonesia yang akan mampu memenuhi persyaratan yang diberikan. Jangan berharap anak-anak dari Provinsi kecil atau dari keluarga marginal bisa banyak terjaring. Kuota 100 orang yang diberikan pun, saya yakin tidak akan selalu terpenuhi sama seperti program beasiswa Dikti lainnya. Iya, BERITA itu tentang Beasiswa Presiden Repubik Indonesia (Indonesia Presidential Scholarship) yang sedang dibuka sekarang.

Sudah lama saya kecewa dengan beasiswa-beasiswa Luar Negeri Dikti, dan sekarang kekecewaan itu semakin besar saat mengetahui beasiswa Presiden ini juga menerapkan persyaratan yang sama. Persyaratan itu adalah persyaratan bahwa pelamar beasiswa sudah harus memiliki Letter of Acceptance (LOA) dari salah satu Universitas di luar negeri, alias sudah diterima sepenuhnya. Terkhusus untuk beasiswa Presiden, pelamar sudah harus mengantongi LOA dari salah satu 50 universitas TOP dunia.

Persyaratan LOA ini sangatlah berat bagi anak-anak Indonesia, terutama bagi mereka yang tinggal di Provinsi kecil atau orang-orang yang marginal secara finansial. Bukan karena otak mereka tidak mampu, tapi mereka tidak punya pengetahuan yang cukup tentang LOA, terlebih lagi tentang sistem pendidikan di luar negeri. Terbukti, beasiswa ke luar negeri Dikti saja jarang terpenuhi kuota setiap tahunnya karena sedikitnya pelamar, nah ini masih dimasukkan lagi untuk beasiswa Presiden. Izinkan saya untuk menguraikan kenapa persyaratan LOA seharusnya tidak usah dimasukkan dalam persyaratan beasiswa-beasiswa Dikti ke luar negeri dan beasiswa Presiden ini.

1.Beasiswa dari sponsor luar negeri tidak meminta LOA

Setiap tahun ada banyak beasiswa untuk kuliah S2/S3 ke luar negeri ditawarkan oleh sponsor-sponsor asing, seperti Fulbright, Australia Awards, beasiswa PRESTASI, New Zealand, Jepang, dan sebagainya. Sebagian dari beasiswa tersebut ada yang menerapkan persyaratan LOA, tapi ada juga yang tidak meletakkan persyaratan itu. Saya adalah penerima beasiswa S2 beasiswa International Fellowships Program (IFP), Ford Foundation, USA dan sekarang menjadi Principal Candidate beasiswa Fulbright Presidential Scholarship untuk PhD. Dua beasiswa yang saya dapatkan ini termasuk beasiswa yang tidak meletakkan persyaratan LOA bagi pelamarnya. Kenapa? Karena mereka yang akan menuntun si pelamar untuk mendapatkan LOA itu, step by step. Biaya untuk semua tes, transportasi dan aplikasi ke universitas mereka yang tanggung. Ketika ada yang masih juga gagal mendapatkan LOA setelah semua proses yang mereka tuntun, mereka tidak kecewa dan merubah persyaratan beasiswa. Sebagai contoh, saya akan menggambarkan bagaimana proses beasiswa S2 dan S3 yang telah saya ikuti.

Untuk beasiswa S2, tepat bulan Agustus 2009 saya melihat ada brosur beasiswa IFP di papan pengumuman Dekanat Fkip Unib. Persyaratan awalnya mudah, download formulir aplikasi dari website beasiswa kemudian kirim ke alamat sekretariat beasiswa di Jakarta. Tidak ada persyaratan meminta sertifikat skor TOEFL. Dari aplikasi awal itu, sponsor menyeleksi, dari 9000-an pelamar menjadi 1500 orang yang akan mendapatkan formulir lengkap beasiswa. Setelah itu, dari 1500 orang itu dikerucutkan lagi menjadi sekitar 800-an orang yang akan mengikuti tes TOEFL ITP. Tempat tes sponsor beasiswa yang menentukan termasuk biaya tes mereka tanggung. Kemudian, dari 800-an orang itu dikecilkan menjadi sekitar 200-an untuk mengikuti tahap wawancara. Tempat wawancara sponsor beasiswa yang menentukan berikut dengan biaya transportasi juga mereka tanggung. Selesai tahap wawancara ditetapkanlah 50 orang calon penerima beasiswa.

Selanjutnya, ke-50 orang ini dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti Academic Training di Universitas Indonesia selama 6 bulan. Biaya perjalanan ke Jakarta disiapkan. Biaya Academic Training dan tes TOEFL ITP, TOEFL IBT dan IELTS, juga sponsor beasiswa yang tanggung. Setiap bulan 50 orang ini diberikan uang saku 2 juta untuk biaya hidup di Jakarta. Tujuan Academic Training ini adalah untuk memfasilitasi calon penerima beasiswa belajar intensif tentang TOEFL dan IELTS agar skor mereka mencapai standar minimum yang ditetapkan oleh universitas luar negeri yang dituju. Setelah itu, sponsor yang akan mengurusi aplikasi calon penerima beasiswa ke universitas-universitas luar negeri. Kami hanya tinggal menunggu saja kabar dimana diterima. Kalaupun ada yang tidak diterima di universitas luar negeri karena nilai TOEFL masih tidak mencukupi setelah Training, sponsor mengizinkan mereka untuk kuliah di dalam negeri. Akan tetapi, meskipun ada yang akhirnya kuliah di dalam negeri, mereka tetap punya kesempatan untuk mengambil short course 2 bulan di Amerika. Biaya pembuatan passport dan visa mereka yang tanggung. Sponsor beasiswa IFP ini menuntun calon penerima beasiswa dari awal sampai studi selesai. Pendeknya, kami hanya datang membawa badan dan otak saja, semua biaya mereka yang tanggung, termasuk keluarga yang ditinggalkan juga dikasih uang. Ada uang untuk beli laptop, uang menghadiri konferensi, uang bulanan, uang untuk penelitian, uang untuk kursus tambahan di negara yang dituju, dan lain-lain. Baik sekali, bukan?

Tentang beasiswa S3, bulan april 2013 saya melamar beasiswa Fulbright Presidential scholarship. Caranya, download formulir dari website Aminef. Di persyaratannya, tidak ada harus sudah memiliki LOA! Pelamar cukup memenuhi standar skor TOEFL ITP yang ditetapkan saja: 575. Dari formulir-formulir yang diterima, Fulbright menyeleksi orang-orang yang akan mengikuti tahap wawancara. Biaya transportasi ke tempat wawancara dan uang saku diberikan. Yang lulus tahap wawancara disebut sebagai Principal Candidate. Para Principal Candidates ini akan mengikuti tes TOEFL IBT sekitar dua kali. Skor mereka harus mencapai standar minimal yang ditetapkan oleh universitas dan jurusan yang mereka tuju. Bila tidak, mereka gugur, aplikasi universitas mereka tidak akan di follow up oleh Fulbright. Semua biaya tes, penginapan dan transportasi Fulbright yang tanggung. Bila skor sudah mencapai standar minimum, Fulbright akan menangani aplikasi ke universitas yang dituju di Principal Candidate. Orang tersebut hanya menunggu kabar saja dari Aminef tentang apa yang harus dilakukan. Kalau ada universitas yang menerimanya, Aminef akan memberikan Pre-Departure Orientation, membiayai visa, dan semuanya sampai orang tersebut pulang lagi ke tanah air. Baik sekali, bukan? Kalau tidak percaya, mari kita lihat tahap beasiswa ke luar negeri dari Dikti dan beasiswa Presiden ini.

Untuk beasiswa ke luar negeri Dikti, pelamar sudah harus punya LOA. Artinya apa? Coba lihat dua cerita tentang proses beasiswa S2 dan S3 saya diatas, kemudian skip ceritanya sampai mendapatkan LOA, servis dibagian itu tidak diberikan oleh Dikti dan beasiswa Presiden. Entahlah, mungkin mau hemat anggaran, atau mungkin takut ada calon penerima yang akhirnya gagal mendapatkan LOA walaupun sudah diberikan Academic Training. Sudah dapat LOA, pelamar akan dipanggil wawancara ditempat yang telah ditetapkan. Biaya transportasi dan lain-lain tanggung sendiri. Ketika sudah dinyatakan lulus, semua biaya visa, tiket pesawat, uang bulanan, dan lain-lain dibiayai Dikti dan beasiswa Presiden ini. Tapi dalam kenyataan, uang-uang itu banyak yang telat diberikan, bahkan ada yang sampai 6 bulan. Akhirnya, biasanya penerima beasiswa luar negeri Dikti harus jual tanah bahkan rumah untuk menutupi semua biaya sampai uang dari Dikti turun. Kalau beasiswa S2 saya bagaimana? Tidak pernah telat. Kalau uang biasanya masuk tanggal 2 dan tanggal 2 itu hari minggu, maka uang sudah masuk direkening di hari Jum’at sebelum tanggal 2. Bagi mereka, lebih baik lebih cepat daripada telat. Mereka sangat memahami kalau hidup di luar negeri itu sulit dan butuh biaya yang tidak sedikit. Keterlambatan uang dari mereka bisa menyebabkan penerima beasiswa mereka menderita dan menghambat studinya. Mereka tidak ingin ini terjadi. Entahlah, kalau dengan Dikti dan pemerintah kita.

2.Mendapatkan LOA tidak mudah dan butuh biaya

Untuk bisa mendapatkan LOA dari satu Universitas, si pelamar harus menyiapkan semua persyaratan yang ditetapkan jurusan di universitas tersebut, berikut dengan biaya pendaftarannya. Si pelamar harus intens komunikasi dengan pihak universitas yang dituju. Semua proses, mulai dari mengisi online application, mengirim dokumen asli ke universitas di luar negeri, dan lain-lain, dilakukan dan ditanggung sendiri oleh si pelamar tersebut. Dan satu lagi, untuk melamar ke universitas luar negeri, si pelamar harus melampirkan skor TOEFL IBT atau IELTS. Skor TOEFL ITP jarang sekali diterima. Artinya, si pelamar harus Tes TOEFL IBT atau IELTS dulu yang tempat tesnya hanya ada di kota-kota besar, seperti Jakarta. Biaya sekali tes sekitar 2 jutaan. Iya kalau sekali tes skor yang didapat mencapai standar minimum di universitas yang dituju, kalau tidak, si pelamar harus tes lagi dan bayar lagi.

Belum lagi, mereka harus ikut kursus TOEFL IBT atau IELTS dulu yang biayanya pun juga tidak sedikit. Kursus singkat IELTS disiapkan Dikti untuk dosen, tapi prosesnya terpisah, tetap saja harus mengurus sendiri.Tak bisa saya bayangkan anak-anak Indonesia seperti saya misalnya yang berasal dari Kota kecil dan tidak punya kekuatan finansial yang baik, kecil sekali kemungkinan bisa melamar beasiswa ke luar negeri Dikti dan beasiswa Presiden. Makanya, beasiswa ke luar negeri Dikti dan prediksi saya terjadi juga pada beasiswa Presiden ini jarang sekali memenuhi kuota pelamar. Kalaupun ada yang melamar, mereka pastilah orang yang sudah punya pekerjaan mapan dan punya kekuatan finasial yang bagus. Ah, jangan harap orang kampung bisa ikut melamar. Bagi mereka TOEFL ITP saja sudah aneh, apalagi ditambah dengan harus punya skor TOEFL IBT atau IELTS.

Banyak sekali yang menghubungi saya dan bertanya tentang cara-cara memenangkan beasiswa studi ke luar negeri. Mereka punya semangat yang membara. Potensi mereka jangan ditanyakan lagi. Dengan senang hati saya meladeni setiap pertanyaan mereka satu per satu. Tapi, saya selalu menyarankan kepada mereka, kalau bisa, janganlah melamar beasiswa dari Dikti atau Pemerintah Indonesia. Kasihan kalian nanti. Pemerintah ingin orang yang siap, tapi mereka tidak mau memfasilitasi persiapannya. Semoga para stakeholders itu peka terhadap hal ini dan berubah pikiran segera, amin…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline