Lihat ke Halaman Asli

What It Means to be a Scholar?

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14030063072004358891

Setelah proses panjang mengikuti seleksi beasiswa sampai proses keberangkatan, akhirnya sampai juga di negeri Paman Sam, Amerika. Rasa lelah hampir 24 jam perjalanan plus dua kali transit penerbangan di Tokyo dan Chicago tak bisa mencegah senyuman di wajah kala melihat selembar bendera bewarna merah, putih, biru berhias lima puluh bintang-bintang kecil berada dalam jangkauan.

***

Aku mengikuti Wasif berjalan di belakang setelah pesawat United Airlines (UA) yang kami tumpangi mendarat sempurna di Newark Liberty International Airport, bukan tempat seharusnya aku mendarat. Langkah Wasif sedikit tergesa sambil menyeret satu koper besar dengan sebuah tas yang diikatkan diatasnya. Wajahnya tipikal orang India, dengan bibir sedikit agak mancung. Tubuhnya sekitar tiga kali lipat besar tubuhku yang berat sekitar 55 KG. Sekarang tak lagi kudengar keluhan-keluhan keluar dari mulutnya. Mungkin pikirannya sudah terjebak dalam keramaian bandara ini.

Ah, dia itu penyelamatku.

Satu hari yang lalu aku memulai perjalananku ke Amerika. Dengan bekal beasiswa Fulbright Presidential Scholarship, aku siap menyelesaikan PhD disana. Semua persiapan sudah selesai, jam 4 pagi aku berangkat menuju Bandara International Soekarno Hatta Terminal 2. Jalanan tol Jakarta tampak lenggang berbeda dari siang hari. Passport, tiket pesawat dan lain-lain kumasukkan dalam sebuah tas pinggang yang biasa digunakan tukang kredit. Aku harus menuju counter ANA (All Nippon Airways) dan check in. Dengan pesawat ANA aku akan terbang ke Tokyo selama 6 jam. Kemudian, dari Tokyo terbang ke Chicago selama 11 jam. Perjalananku akan ditutup dengan penerbangan dari Chicago menuju Allentown Pennsylvania selama satu setengah jam. Bila ditambah dengan waktu menunggu, semuanya sekitar 24 jam perjalanan. Jangan tanyakan soal lelah atau tidak. Pantatku sudah dipenuhi semut tanpa rupa.

Ternyata, perjalanan ini tidak semulus seperti harapan. Sesampai di O’hare International Airport, Chicago, aku turun dari pesawat. Pemandangan mulai berubah; dari orang-orang bermata sipit dan berambut hitam menjadi orang-orang berambut pirang berkulit putih. This is America. Semua orang keluar dari pesawat, berjalan sesuai tujuan masing-masing. Tak ada yang memandu, begitu juga aku. Bandara O’hare di Chicago merupakan salah satu bandara terbesar di Amerika. Ratusan orang hilir mudik di bandara ini. Hanya layar besar berisi jadwal penerbangan sebagai pemandu.

Kulihat jadwal penerbangan Chicago - Allentown pukul 6 di Gate B24. Tanpa pikir panjang segera aku check in dan menuju ke dalam bandara. Prosesnya tidak semudah masuk bandara Soekarno Hatta. Ada security procedure yang harus dijalani setiap penumpang. Semua barang bawaan dan yang dipakai harus dilepas, kecuali baju dan celana. Antrian ini panjang sekali, sampai memakan waktu hampir satu jam. Amerika benar-benar belajar dari pengalaman. Good then.

Sesampai di gate B 24 pukul 4 sore, aku mencari restroom. Aku belum shalat. Entahlah, penerbangan ini tampak aneh. Aku berangkat dari Jakarta pukul 06.30 pagi tanggal 10 Juni, kemudian tiba di Tokyo pukul 2 siang sedangkan penerbangan Tokyo - Chicago memakan waktu 11 jam dan aku melewati malam di pesawat. Tapi, sekarang masih jam 4 sore tanggal 10 Juni. Perbedaan waktu membuat hal itu terjadi. Setidaknya, aku masih bisa menunaikan shalat Ashar di Jamak dengan Zuhur. Setelah orang sepi, aku mulai berwudhu dengan menggunakan basin di restroom. Beberapa orang yang masuk mungkin melihatku aneh sampai harus melepas sepatu dan mengangkat kaki sampai ke basin. Aku tak peduli. Hanya aku takut ketahuan sama pembersih toilet saja. Setelah selesai berwuduhu, ternyata si pembersih toilet sudah berdiri dibelakangku dengan memegang gagang sapu pel. Dengan pandangan tanpa rasa bersalah, aku berlalu.

Keluar dari restroom, aku mencari tempat duduk yang sepi untuk menunaikan shalat. Beginilah salah satu tantangan bila sedang dalam perjalanan diluar negeri. Namun, itu bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban.

***

Pesawat UA ke Allentown mengalami penundaan; dari jam 6 menjadi jam 7, lalu menjadi jam 8, dan akhirnya jam 9. Para penumpang diminta masuk pesawat. Setelah beberapa menit berada di dalam pesawat, Pilot mengumumkan kalau ada kerusakan mesin pesawat sehingga penerbangan tidak bisa dilanjutkan. Ini penerbangan terakhir ke Allentown. Semua penumpang pun mengeluh. Seorang bapak menakutiku dengan berkata kalau kita akan tidur di bandara malam ini. Aku hanya tersenyum padanya. Ingin rasanya kujawab, Bandara ini pun jauh lebih baik dari rumahku, Pak.

Disinilah perkenalanku dengan Wasif terjadi. Dia tinggal tak jauh dari Allentown. Setiap minggu dia pergi ke Chicago untuk bekerja selama 3 hari, kemudian pulang kerumah. Dia kesal karena minggu ini dia menghabiskan satu minggu bekerja di Chicago dan istrinya dirumah sudah tak tahan menunggu kepulangannya. Dia pun harus bersabar karena penerbangan dibatalkan. Kami diberikan voucher menginap semalam di Chicago dan diganti penerbangan lain terdekat dengan Allentown. Sayangnya, UA merubah penerbanganku tapi tidak arah tujuan koperku. Akhirnya, aku terbang menuju Newark, namun koperku menuju Allentown. Wasif yang membantuku menyelesaikan semuanya. Mungkin dia tersentuh ketika kuberitahu kalau baru pertama kali ke Amerika untuk kuliah. Tapi, dia terlalu sering mengeluh.

Tiba di Bandara Newark, Wasif sibuk menelpon sana sini untuk mendapatkan transportasi kami menuju Allentown. Dia juga harus menuju kesana karena mobilnya masih terparkir di Bandara. Setelah hilir mudik, diskusi sana sini, kami memutuskan untuk mengecek koperku di bandara Newark terlebih dahulu. Saat keluar menuju tempat baggage claim, seorang laki-laki dengan pakain jas rapi berdiri sambil memegang sebuah nama ‘Waluyo’. Itu nama belakangku, dan dia datang untuk menjemputku dengan sebuah mobil sedan Limousine. Wasif cukup terkejut melihat jemputanku. Dia tidak tahu betapa spesialnya beasiswa yang kudapatkan ini.

***

Dalam hitungan menit, kami sudah berada didalam mobil menuju Allentown. Wasif berbincang dengan si sopir yang ternyata akan menyelesaikan S1 dan berangkat melanjutkan studi di Hawaii. Kulemparkan pandangan menuju luar jendela. Sepanjang jalan kulihat pepohonan hijau rindang berjejeran. Cuaca cukup cerah dengan hembusan angin dingin menerpa wajahku. Pikiranku mulai bernostalgia.

Ini adalah perjalanan kedua ku studi ke luar negeri. Perjalanan pertamaku adalah studi S2 ke University of Manchester, Inggris dengan beasiswa International Fellowships Program, Ford Foundation. Sekarang, perjalanan studi keduaku sudah dimulai; menimba S3 di Lehigh University, Pennsylvania. Tuhan memudahkan jalanku dalam menuntut ilmu. Aku bisa menyelesaikan S1, mendapatkan beasiswa S2, lalu S3, semuanya terjadi secara berurutan.

[caption id="attachment_329480" align="aligncenter" width="504" caption="Lehigh University, Universitas tempatku menimba ilmu PhD"][/caption]

Aku percaya, something happens for a reason. Selalu ada pesan dan sesuatu dibalik semua yang diberikan Tuhan. Dua beasiswa yang kudapatkan tak mungkin salah. Tapi, didalam diri, aku sangat menyadari kalau tidak ada hal lain yang kumiliki melebihi orang lain. Satu pertanyaan mulai muncul dikepalaku,

What it means to be a scholar?

Sedan Limousine itu berjalan lancar menuju Allentown dan Lehigh Valley International Airport. Kecepatannya hampir sama dengan kecepatan pikiranku memfilter apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini.

Ah… Just be it!

West Packer House, June 17, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline