Lihat ke Halaman Asli

Cathaleya Soffa

Ibu Rumah Tangga

Hati (2)

Diperbarui: 12 Februari 2019   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan yang tak pernah dia duga. Setelah delapan belas tahun tak bersua. Setelah surat-suratnya berkarat di udara. Setelah hari-harinya tanpa warna. Setelah perpisahan itu, Ade telah mendorongnya ke jurang paling dalam. Tak ada lagi yang bisa membuat hatinya berbahagia. Bahkan untuk mendaki melewati tangga darurat saja Mia enggan.

Melakukan hal-hal kecil juga tak mampu ia kerjakan. Untuk sekedar menyiram suplir, kuping gajah, anggrek, beras tumpah, bunga-bunga kertas penuh warna dan kerumunan bunga-bunga bugenvil digantikan oleh ibunya. Benar-benar hidupnya sangat menyedihkan. Dinding kamarnya saja bosan melihatnya setiap hari berkeluh kesah. Andai dinding itu punya kaki. Ditendangnya jauh-jauh dari ruang tempatnya memenjarakan diri. Namun sayangnya dinding itu tak punya kaki. Jadi tak ada yang bisa dilakukannya. Cukuplah ia sebagai tempat bercerita. Mewartakan hatinya, bahwa hari-harinya dipenuhi tumpukan ranting-ranting patah. 

Ya, ranting-ranting patah yang terus saja begitu. Berjatuhan tak tentu arah. Berserakan. 

Kadang ia punguti satu-satu ranting-ranting itu. Ia kumpulkan. Tertiup angin. Terserak. Ia kumpulkan kembali. Kadang ia acuhkan saja. Terserak tertiup angin. Dipungutinya lagi. Tak lama, terserak kembali tertiup angin. Dan hambur. Lalu dikumpulkannya lagi. 

Sewaktu-waktu diikatnya dengan sulur air mata, diletakkannya di sudut hati. Mia jadikan sebagai perapian kepada hatinya yang dingin dan  beku. Berharap bisa mencair. Tidak terus-terusan menjadikan hatinya beku dan tajam. Mirip bongkahan stalagtit dan stalagmit. Benar-benar mengerikan. Di jiwanya benar-benar tak ada kehidupan.

Aktivitas  sehari-harinya adalah omong kosong. Menimba ilmu di sebuah universitas ternama hanya sebagai papan nama saja. Tak ada pemahaman di situ. Tak ada jiwanya di sana. Ruhnya hanya puting beliung yang sukanya memporakorandakan dirinya sendiri. Pulang dan pergi dari ia mengenyam pendidikan hanyalah retorika perjalanan dia saja. Jiwanya ada diantara tembok persegi empat itu. Terkungkung. Terpenjara dalam ruang kamarnya sendiri.

Sampai suatu ketika Mia memahami tentang sesuatu. Lima tahun sudahlah cukup untuk menimang rasa. Bahwa Mia harus membuka hatinya. Membuka dunia barunya. Membuka pikirannya. Tentang dirinya yang juga punya hak untuk hidup bahagia. Mia punya hak untuk hidup lebih baik dari masa lalunya. 

Kemudian sejak saat itu, di sudut matanya tak ada lagi air mata menggenang. Dia keringkan dengan derajat celcius paling mematikan. Tak peduli bara panasnya. Dia bertekad megubur masa lalunya tanpa tersisa. Tanpa ada kenangan tercecer di benaknya. Mia berazam untuk itu. Dia benar-benar meninggalkan kenangannya bersama Ade, untuk selamanya. Dan tidak akan lagi terus berkubang dengan kemurungan. Ya Mia harus bangkit lagi.

Segala cara dilakukannya. Demi melupakan cinta kandasnya, Mia rela melepaskan semua kenangan-kenangan indahnya. 

Berbagai kegiatan dia lakukan. Bekerja, dimana Mia banyak bersentuhan dengan orang-orang, menjadi karyawan di bagian HRD membuatnya merasa lebih banyak memiliki teman dan saling bersinergi. Tentang apapun. 

Mia bekerja di salah satu perusahaan jasa pembangunan proyek infrastruktur. Dia bekerja keras di bidangnya. Sampai beberapa tahun ia berhasil mencapai puncak kesuksesan. Mia menjadi leader di perusahaan yang dia geluti. Mengambil posisi strategis yang tak pernah dibayangkan sama sekali. Itu tak lepas dari tangan terampilnya, kegigihan hatinya, dan kesungguhannya untuk mau berubah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline