Lihat ke Halaman Asli

Cathaleya Soffa

Ibu Rumah Tangga

Puisi | Intuisi dan Hujan dalam Kotak

Diperbarui: 24 Oktober 2018   01:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(pexels.com)

Hap... kutangkap hujan. Hap hap hap kutangkap lagi hujan. Ia berlarian. Saling berkejaran. Dalam genangan kaki kaki berkecipak. Dalam rintik yang kian rusuh, suara suara gemericik mendengkurkan mata yang riang. Jauh lebih terang. Jauh lebih riang dari sayup sayup pijar mata hati.

Air yang jatuh dari tangga cakrawala itu gerimis. Rinai rinai tanpa sayap berkecambah. Melalui celah angin yang mendayu di ujung pintu telingamu. Kepadanya pupilmu menelisik. Terbaring dalam kotak. Jadilah hujan yang membabat habis ruang ruang penuh getir singgasana ruh ruhmu. 

Kusinggahi air yang mengalir. Hujan yang turun untuk membasuhi jiwa yang berjelaga. Oh... kiranya. Apa sesak itu terhimpit oleh onak? Ombak mengebumikan hujan dengan derai derainya. Kemudian tergugu dalam kotak kotak lara dan kenang kenangan, luka luka melunglai.

Tersebutlah...

Maka hujan pun meringkuk. Di setiap ulu hati. Resah diasah oleh embun. Biar saja terurai. Bukankah begitu? 

Maka hujan pun membekap hati hati. Dengan perpanjangan waktu. Untuk direnungi bersama. Hidup ini cerita yang akan kita unggah. Nanti setelah dunia tak lagi berpenghuni. Kitalah nyawa yang tercerabut. Gambaran gambaran legenda yang akan kita runtuhkan di sisi Tuhan. Sebagai ego, menelanjangi raga, ruh ruh.

Oh... kiranya. Sepandai itukah benak ini melahirkan rumus rumus bencana? 

Dan hatiku berjejak. Kepada tapak tapak, tak kulihat lagi ringkih. Biar saja begitu. Teruslah melaju. 

Di dada ini ada nurani. Intuisi yang tak bisa dikhianati. 

Ciputat, 23 Oktober 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline