Lihat ke Halaman Asli

Bersahabat dengan Bencana Alam

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1425470432550756721

Tanah longsor di Banjarnegara tanggal 12 Desember 2014 kemarin membuat bangsa ini tercengang atas keganasan alam di Indonesia. Belum hilang ingatan bangsa ini atas serentetan bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia. Tsunami di Aceh dan Pangandaran, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, gunung meletus di Gunung Merapi, Gunung Kelud, Gunung Slamet, Gunung Sinabung yang masing berstatus siaga sampai saat ini, banjir bandang di Wasior, Papua maupun Jakarta yang selalu menjadi langganan dan masih banyak lagi. Negeri yang dilewati “Ring of Fire” ini memiliki resiko bencana alam lebih banyak daripada negara-negara lain di dunia. Mulai dari gunung meletus, banjir, tanah longsor, gempa bumi, angin ribut dan lain sebagainya. Mengingat Indonesia merupakan pertemuan dua lempeng besar dunia, dilewati jalur gunung berapi, diantara dua benua dan dua samudra, serta keadaan topografis yang memungkinkan untuk terjadi bencana alam. Sehingga tanpa dipungkiri Indonesia menjadi kawasan yang memiliki intensitas bencana alam tinggi.

Dalam kasus kejadian di Banjarnegara kemarin, terdapat penyebab yang melibatkan kelalaian manusia. Pernyataan ini berdasarkan berdasarkan beberapa analisa, selain faktor alam, faktor kelalaian manusia juga menjadi penyebab tanah longsor di Banjarnegara. Dari faktor alam, menurut Ilmuwan UGM, akibat adanya sejumlah jalur patahan, kawasan Kecamatan Karangkobar memiliki tekstur daratan berbukit yang memiliki lereng curam dan tegak. Jalur-jalur patahan itu juga mengakibatkan ikatan lapisan batuan penyangga tanah saling terbelah dan rapuh.Efek patahan, yang memudahkan longsor terjadi ini, didukung dengan karakter lapisan di bawah tanah yang berupa batu lempung atau napal. Saat hujan lebat terjadi, air yang meresap ke dalam tanah tertahan oleh lapisan batuan itu.

Faktor kelalaian manusia turut andil penyebab tanah longsor di Banjarnegara. Namun lebih tepatnya menjadi pemicu jatuhnya banyak korban pada kejadian itu. Berdasarkan penelitian yang ada, kejadian itu sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Selain dari sebab-sebab lapisan tanah yang ada di Banjarnegara, sebenarnya telah terjadi longsor kecil tidak jauh dari tempat tadi dan adanya mata air baru yang merupakan tanda-tanda tanah longsor. Namun semua tanda-tanda itu tidak direspon pemerintah dan warga masyarakat dengan baik.  Dengan kejadian ini, dapat dikatakan kalau Indonesia belum memiliki kesiap-siagaan atas bencana alam yang selalu mengintainya.

Rendahnya kesiap-siagaan atas bencana alam bisa dilihat dari beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Jika dirunut dari awal, maka tanah longsor tidak lepas dari rusaknya hutan yang berada di lereng bukit. Hutan-hutan yang berada di Banjarnegara telah dirubah menjadi ladang. Hutan yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber air telah dialih fungsikan menjadi lahan pertanian. Sehingga dengan kondisi topologi pertanahan yang telah ‘rapuh’ ditambah tidak adanya akar-akar tunggang dari pepohonan membuat semakin mudah tanah tergerus oleh air hujan. Pelan namun pasti, gundulnya hutan dapat mengakibatkan tanah longsor maupun banjir tidak bisa dihindari lagi.

Kembali lagi kepada manusia-manusia yang mengelola gunung, khususnya hutan. Faktor gundulnya hutan berkaitan erat dengan faktor manusia yang memiliki sikap acuh tak acuh. Dengan alasan ekonomi, sebagian masyarakat merambah hutan tanpa berusaha untuk mereboisasi. Merubah fungsi dari hutan lindung menjadi lahan pertanian. Jika melihat beberapa daerah di areal Dataran Tinggi Dieng, maka pemandangan akan hamparan lahan pertanian yang tersuguhkan di mata kita. Nyaris tidak terlihat adanya pepohonan yang berada di areal berbukitan, berubah menjadi lahan pertanian. Sikap acuh tak acuh ini bisa disebabkan atas sisi rendahnya pengetahuan masyarakat atas resiko yang diterima dari gundulnya hutan. Pastinya peran pemerintah untuk melakukan sosialisasi dini atas bahaya yang bisa ditimbulkan dari penggundulan hutan. Namun bisa jadi karena sikap masyarakat yang menyepelekan sesuatu sebelum bencana itu terjadi. Setelah bencana itu terjadi, maka dengan serta-merta mereka tersadar walaupun tidak jarang disertai menyalahkan orang lain. Penanganan bencana alam harus digarap sejak dini dan melibatkan segenap eleman, baik pemerintah maupun masyarakat, termasuk pihak ketiga. Sehingga tidak terkesan seperti menyiram ketika telah terjadi kebakaran namun tidak mempersiapkan diri agar kebakaran itu dicegah.

Munculnya UU Desa memberikan harapan baru bagi desa-desa di Indonesia. Selain UU Desa memberikan konsekwensi atas dana yang besar untuk desa, Undang-undang itu juga membuka partisipasi yang luas bagi masyarakat desa. Selama ini, aktivitas di desa mulai dari pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masih sedikit partipasi masyarakat. Sepenuhnya segala kegiatan ditangani beberapa pejabat desa dan beberapa tokoh saja. Walaupun ada yang mengatakan jika partisipasi telah dilakukan, namun sebenarnya itu bukan partisipasi melainkan lebih tepat dikatakan sebagai mobilisasi. Masyarakat hanya terima jadi, ‘manut miturut’ atau ‘sendiko dhawuh’ daripada mendapatkan intimidasi dari beberapa oknum. Tidak jarang sebelum rapat dilakukan telah ada oknum-oknum yang melakukan intervensi kepada peserta. Padahal adanya ‘rembug desa’ diharapkan mampu membuka partisipasi yang sebenarnya, bukan sekedar mobilisasi saja. Karena dengan adanya partipasi aspirasi masyarakat tertampung dan tersalurkan sebagai kebijakan pemerintah. Masyarakat yang lebih tahu yang dibutuhkannya, sehingga terkesan lucu jika masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan  kebijakan hanya disusun oleh sekelompok elite saja.

Hadirnya UU Desa memberikan ruh baru untuk penguatan desa. Desa kuat bisa dilihat dari berdaulat dalam politik, bertenaga secara sosial, bermartabat secara budaya, berdaya secara ekonomi. Ruh yang mampu menggerakkan cita-cita besar itu adalah partisipasi. Menurut Sutoro Eko (2006), partipasi memiliki tiga indikator, voice, akses dan kontrol. Di masyarakat, masih sedikit sekali voice, akses dan kontrol didalam bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi. Selama ini, post-post strategis telah diambil oleh oknum-oknum desa untuk kepentingannya sendiri atau kelompok. Oleh kerena itu, point penting dalam musyawarah desa tentang penanggulangan bencana menjadi bias. Padahal kita tahu bahwa Indonesia memiliki kecenderungan besar dari ancaman bencana alam. Namun sangat sedikit sekali adanya persiapan, pendidikan maupun kelanjutan jika bencana datang tiba-tiba. Ketika gempa bumi melanda Jogja dan Jawa Tengah, janji akan adanya bantuan 15 juta rupiah per-rumah membuat masyarakat merobohkan rumahnya dan terjadi konflik dengan pejabat desa, khususnya RT yang melakukan pendataan. Namun bisa jadi bencana itu dibiarkan terjadi agar oknum-oknum pejabat ikut serta menikmati bantuan yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat korban bencana.

Kenyataan di masyarakat desa, hampir sebagian besar masyarakat tidak mengetahui yang dilakukan ketika bencana itu datang dan kelanjutan setelah bencana itu berlalu. Sosialisasi tentang pendidikan kebencanaan alam dari pemerintah maupun pihak ketiga masih sedikit sekali, nyaris tidak ada. Sehingga ketika bencana itu hadir, masyarakat panik dan bingung untuk menyelamatkan diri. Karena tidak adanya pendidikan kebencanaan dan tidak tersedianya informasi pada waktu bencana datang. Hal ini terkadang menjadi penyebab lain atas bertambahnya jumlah korban jiwa. Bencana alam menjadi bahaya laten yang bisa datang sewaktu-waktu namun sangat sedikit adanya pengetahuan masyarakat atas kebencanaan. Paradigma lama harus dirombak dengan paradigma baru yang menggali kearifan lokal. Di samping itu ada kecenderungan bencana alam menimbulkan bencana sosial.

Pendidikan kebencanaan bisa dilakukan dengan penggali kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah. Sesuai dengan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 24 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa salah satunya berasazkan kearifan lokal. Asaz ini sesuai dengan semangat Undang-undang tersebut agar bermartabat secara budaya. Indonesia telah lama terkenal sebagai ‘Budaya Ketimuran’ yang memiliki budaya adiluhung. Sehingga banyak memiliki kearifan lokal yang telah mendarah-daging dan berjalan selama ratusan tahun di Nusantara ini. Termasuk di dalamnya kearifan lokal yang berkaitan dengan kebencanaan alam. Alangkah baiknya jika digali, dikuatkan, dikembangkan kearifan-kearifan lokal yang selama ini menjadi ‘panutan’ bagi warga masyarakat. Terkadang masyarakat masih terasa asing jika kita melakukan sosialisasi menggunakan cara-cara yang dianggap akademis. Dengan bersahabat dengan alam, masyarakat telah lama mengenal alam dan mengenali sejak dini tanda-tanda bencana alam. Membuahkan konsep-konsep kearifan lokal yang diajarkan turun temurun dari generasi ke generasi.

Bencana alam bisa diminimalisir dengan menjaga kelestarian lingkungan. Arus modernisasi yang meninggalkan nilai-nilai baik lokal seakan sejalan dengan arus bencana yang silih berganti di negeri ini. Modernisasi lebih banyak memiliki andil untuk merusak kearifan lokal yang telah lama tinggal masyarakat. Selain itu, fundamentalis agama juga turut mengikis kearifan lokal itu sendiri, padahal kearifan lokal yang ada telah dioleh para ulama terdahulu. Rusaknya kearifan lokal menjadi mempermudah rusaknya alam sehingga keseimbangan alam terganggung. Suku Badui di Banten memiliki kearifan ‘pikukuh’, di Garut, Jawa Barat Gunung kaian(gunung tanami kayu/pohon),gawir awian(tebing tanami bambu), di Aceh, di Papua, Suku Dayak di Kalimantan dan seluruh daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri dalam melestarikan lingkungan.

Kearifan lokal harus menjadi semangat untuk menanggulangi bencana alam. Bencana alam bukan hal baru dan tidak perlu ditakuti tetapi juga jangan dianggap ringan. Namun kita wajib bersahabat dengan bencana dengan cara mengenali tanda-tandanya dan tahu yang harus dilakukan selama maupun setelah bencana itu terjadi. Harus ada konsolidasi bersama antara masyarakat, pemerintah dan pihak ketiga untuk bekerjasama mengurasi resiko bencana. Pemerintah memberikan sosialiasi tentang bahaya, tanda-tanda, fasilitas di posko penampungan sampai keberlanjutan warga di lokasi bencana. Masyarakat berperan aktif dalam menjaga lingkungan, memberikan informasi jika ada kejanggalan alam dengan membuang sikap acuh tak acuh. Sedangkan pihak ketiga seperti LSM, CSR Perusahaan, Perguruan Tinggi, dan lain-lain memberikan bantuan sesuai kemampuannya. Bencana alam tidak bisa dihindari tetapi bisa dicegah dengan cara menjaga keseimbangan lingkungan.

Dengan dijiwai semangat kearifan lokal diharapkan mampu mengurasngi resiko. UU Desa yang telah memberikan ruang cukup lebar bagi partisipasi masyarakt harus dimanfaatkan secara bijak. Dalam hal ini, dana dan partisipasi menjadi modal besar atas perhatian untuk penanganan bencana alam. Asaz rekognisi dan subsidiaritas menambah geliat desa untuk mandiri, khususnya mandiri dalam kebencanaan. Pemerintah desa bersama masyarakat bahu-membahu membangun kesadaran dan kemampuan akan kebencanaan agar tidak seperti kebakaran jenggot jika bencana alam datang. Pembangunan harus dirubah dari paradigma membangun desa menjadi desa membangun. Desa harus berdaya, mulai dari dalam, mulai dari masyarakat, dari bawah yaitu dengan adanya partisipasi. Pemerintah hanya tinggal memberikan dana dan mengawasinya, termasuk mengontrol jika program tersebut tidak tepat sasaran. Disamping itu pemerintah dituntut untuk memberikan fasilitas agar akses masyarakat untuk melakukan pembangunan dapat berjalan dengan lancar.

Minardi

(Pemerhati Desa, alumni Ilmu Pemerintahan, STPMD “APMD” Yogyakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline