Beberapa bulan belakangan ini bangsa Indonesia dihebohkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri ( SKB 3 Menteri) soal pakaian seragam sekolah negeri. Salah satu isi poinnya adalah, "Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama".
Hal ini sudah disepakati oleh Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Dan Menteri Agama. Lahirnya SKB 3 Menteri tersebut jelas menimbulkan pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat, terutama dari kalangan umat Islam yang mayoritas mendiami Republik ini, mereka merasa dirugikan dengan aturan yang dikeluarkan oleh 3 menteri tersebut, meskipun sudah disepakati dan sudah berlaku, hal ini tetap menjadi polemik hingga sekarang.
Sebagai putra Minagkabaw, disini penulis hanya mencoba melihat dari sisi HISTORISnya kenapa SKB 3 Menteri ini masih menjadi polemik hingga sekarang, khususnya di daerah Minangkabaw. Jika kita coba melihat dari sisi historisnya Kebudayaan Minangkabaw, kebuadayaan Minagkabaw yang religius itu sudah ada jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Hal ini sudah tertuang didalam falsafah orang Minagkabaw berabad-abad tahun yang lalu, yaitu; Adat Basandi Syara', Sayara' Basandi Khitabullah.
Disini jelas dikatakan, bahwa dalam kesehariannya prilaku dan pakaian orang Mingkabaw itu semuanya mengacu kepada Khitab (Al Qur'an). Apa yang dikatakan oleh Al Qur'an, itulah yang diikuti oleh Masyarakat Minangkabaw dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka selama ini, termasuk dilingkungan pendidikan. Meskipun dalam mengikuti ajaran yang tertuang didalam Al Qur'an tersebut adanya ketidaksempurnaan yang dijalani, bagi orang Minangkabaw sangat berpantang jika ketidaksempuraan mereka tersebut ikut digerogoti oleh orang lain. Jelas mereka merasa bendera kehormatannya serasa dicabik-cabik oleh orang lewat.
Disinilah letak terajadinya benang kusut itu kenapa aturan SKB 3 menteri tersebut sulit untuk diterima, khususnya oleh masyarakat Minangkabaw. Saat ini masyarakat Minangkabau merasa dikebiri oleh SKB 3 menteri tersebut. Bagaimana tidak, aturan yang selama ini telah mereka jalani bertahun-tahun lamanya, tiba-tiba dicabut begitu saja oleh SKB 3 Menteri yang hanya menggacu kepada keributan yang terjadi disalah satu SMK Negeri di Kota Padang.
Masyarakat Minangkabaw merasa ini adalah sebuah tamparan keras untuk meraka soal falsafah Minangkabaw yang selama ini mereka jaga bagaikan menjaga harga diri, mereka merasa diserang dimalam hari disaat mereka tertidur. Jadi wajar, jika masyarakat beserta para ulama yang ada di Minangkabaw hingga sekarang masih menolak dengan keras aturan SKB 3 Menteri tersebut. Apalagi ini menyangkut soal kelangsungan hidup generasi muda Minangkabaw yang selama ini sudah mereka jaga dan pertahankan agar tetap selalu berada dijalan yang sesuai dengan syari'at Islam
Bagi masyarakat Minangkabaw, tamparan yang mereka terima ini begitu menyakitkan hingga terasa sampai ke hulu jantung. Jika kita dilihat kembali kebelakang perjalanan sejarah bangsa ini. Begitu banyak keikutsertaan orang-orang Minangkabaw dalam memperjuangkan bangsa ini hingga menjadi sebuah Republik yang diakui dunia. Tapi hingga sekarang mereka tidak pernah meminta untuk diistimewakan dari hasil jerih payah perjuangan nenek moyang mereka, oleh karena itulah mereka merasa tamparan ini tidak layak untuk mereka terima.
Sebagai pembuat aturan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang dampak buruk dari aturan ini, karena tidak semua aturan itu bisa diterapkan disetiap daerah, mengingat setiap daerah itu memiliki sosial budaya yang berbeda-beda.
Kedepannya, jangan sampai aturan yang dibuat itu berdampak buruk pada persatuan dan kesatuan bangsa ini. Bukankah seharusnya aturan itu berfungsi untuk menyatukan perbedaan yang ada, bukan malahan menjadi sarana pemecah belah, dan ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemegang kebijakkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H