Suatu hari, aku menjadi panitia jalan sehat bersama salah satu surat kabar lokal di kota Magelang. ( Aku adalah wartawan Freelance yang mengurusi rubrik remaja di surat kabar itu. Orang bilang aku Nggaya,). Aku tidak sendiri, namun bersama ketiga temanku. Dalam acara itu aku menemui berbagai peristiwa yang cukup bisa menegaskan bahwa itulah Indonesia. Yang mengajari aku untuk bersyukur dalam kondisi seperti ini.
Acara jalan sehat itu mengundang beberapa pejabat kota, seperti walikota dan kawan-kawan yang aku tidak tau siapa. Selain jalan sehat acara itu juga bertujuan untuk membersihkan kota Magelang. Sehingga, ketika hendak berangkat, para peserta diberi kantong plastik untuk mengumpulkan sampah yang ditemui diperjalanan. Barang siapa yang mengumpulkan sampah paling banyak, maka ia berhak mendapatkan hadiah.
Setiap peserta membayar sejumlah uang (kalau tidak salah 15ribu) untuk mengikuti jalan sehat itu. Disitu peserta akan mendapatkan fasilitas seperti air mineral, Koran hari itu, kaos, kartu perdana, dan apa lagi saya lupa, yang jelas kantong plastik. Dan yang utama adalah kupon berhadiah, dimana hadiah utama adalah sepeda motor.
Karena aku dan teman-temanku hanya panitia tidak resmi, maka kita hanya membantu sebisanya, (padahal gak tau apa-apa :D) seperti membagi Koran, menata minuman, mengantarkan makanan ke tamu undangan dan sebagainya. Peserta jalan sehat waktu itu cukup banyak. Sehingga, panitia cukup kewalahan menghadapi peserta yang kebanyakan mendaftar pada hari H >_<. Banyak diantara mereka yang meminta tolong kepada panitia untuk menuliskan formulir pendaftaran. Ya, masih cukup banyak diantara mereka yang buta huruf. (T_T).
Selain itu, aku juga mengamati kalau kebanyakan diantara mereka yang mendaftar bukan untuk mengikuti jalan sehat tesebut, namun hanya untuk mendapatkan fasilitasnya, seperti, kaos, Koran, kartu perdana, dan yang pasti kupon undian. Berharap dewi fortuna datang menjadi tujuan utama mengikuti jalan sehat ini. Sebut saja ibu X,
“Mbak, kata panitia saya hanya mendaftar tapi tidak ikut jalan-nya tidak apa-apa? Soalnya saya jualan disini.”
“Oh, iya bu, tidak apa-apa,” kata salah satu panitia.
Selain itu ada juga seorang, sebut saja BapakY. Dia membeli formulir pendaftaran banyak sekali. Jika aku menghitung, lebih dari lima. Aku merasa dia terlalu berhasrat untuk mendapatkan hadiah. Aku masih cukup ingat bagaimana semangat bapak itu. Ya, karena berulang kali dia meminjam bolpenku. :D.
Namun, sayang, perjuangan bapak itu tidak berhasil. Kelima kupon undiannya (atau bahkan lebih) tidak ada satupun yang tembus. Perjudian yang ia lakukan tidak berhasil. Untungnya, ia tidak benar-benar sial. Karena, ia berhasil mengumpulkan sampah paling banyak, dan berhak mendapatkan hadiah. Aku tidak tau hadiahnya apa, namun aku pikir, itu tidak sebanding dengan perjudian yang ia lakukan. Ya, semoga saja, ia benar-benar ikhlas memunguti samapah itu. Jadi paling gak dia mendapatkan tambahan pahala lah. :D
Yang terlintas di pikiranku saat itu adalah ternyata masih banyak diantara kita yang suka berpikir instan, dan mengorbankan beberapa bahkan segala hal. Memang semua butuh pengorbanan, tapi tidak juga seinstan itu lah. Semua harus disertai kerja keras yang tidak sedikit.
Setelah acara selesai, panitia kemudian makan siang. Kita makan siang ditempat itu dan memesan paket nasi dan ayam kardus yang ada di sekitar tempat itu. Ternyata panitia memesan terlalu banyak, dan cukup banyak yang sisa. Tapi tentu saja tidak berlangsung lama karena, para pengemis sudah menyerbu, mengantri mendapatkan bagian. Ada yang menunggu, ada juga yang langsung minta, tapi ada juga yang basa-basi.
“Pak, ini sisa gak?”
Sama salah seorang panitia langsung disemprot,
“Pak, kalau mau minta ya minta saja, kalau tanya sisa gak ya gak.” Dengan nada tinggi. (kalimat persisnya aku lupa)
Setelah selesai makan, sampah kemudian dikumpulkan. Panitia yang lain langsung bergegas, sedangkan aku dan ketiga temanku masih bertahan karena kita berencana menuju suatu tempat. Namun hatiku kembali bergetar melihat para pengemis itu (yang jumlahnya semakin banyak) menyerbu tempat pengumpulan sampah kardus yang berisi makan tersebut. Mereka membuka kardus itu satu persatu dan memakan sisa makanan yang masih ada didalam kardus, entah nasinya ataupun ayamnya. Disitu aku kemudian berbisik pada ketiga temanku,
“Lihatlah. Itulah wajah-wajah Indonesia. Ckck…”
Ketiga temankupun mengangguk.
Sampai dirumah, kemudian aku cerita pada ibuku. Ibuku dengan entengnya menjawab,
“Itu mending masih baru, dan belum masuk tempat sampah. Tentu kan masih banyak yang makan dari tempat sampah yang sudah berhari-hari.”
Sekali lagi, hatiku bergetar dan geleng-geleng kepala.
Ada juga hal unik yang aku temui. Formulir yang dibeli kan terdiri dari kupon untuk penukaran hadiah, dan kupon untuk penukaran minum. Banyak diantara mereka yang tidak memperhatikan hal itu. Sehingga banyak yang harus mencari kupon minuman itu kemudian baru bisa mendapatkan minuman. Ada bapak-bapak yang kembali sampai empat kali karena ingin mendapatkan minuman tapi kuponnya tidak ada. Sebenarnya aku dan teman-temanku kasihan, tapi panitia yang lain ngotot bartanya mana kuponnya. :D. Namun kemudian, ia mengajak teman-temannya untuk mendapatkan air. Tapi ada juga yang kemudian akhirnya aku kasih Karena bagaimanapun kan mereka tetap sudah membeli tapi hilang.
Selain itu, jadwal pelaksanaan kalau tidak salah jam7 pagi atau berapa gitu. Tapi sudah molor 30 menit, jalan sehat belum juga dimulai. Ada peserta yang tanya padaku,
“Mbak mulainya jam berapa to? Ini sudah jam setengah delapan lho.”
Aku hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu. Pertama karena tidak tahu, kedua karena memang sudah hafal dengan tradisi Indonesia yang suka membawa jam karet. :D
Berbagai peristiwa dihari itu, membuatku merasa bahwa aku harus belajar dan terus belajar. Belajar disini berarti belajar langsung. Mungkin selama ini aku terlalu menutup mata akan keadaan yang ada disekelilingku. Banyak hal yang belum kualami sendiri. Selama ini aku hanya mendengar dan membaca dari buku. Padahal, banyak hal yang bisa aku lihat sendiri, yang tentunya akan lebih bisa membuatku mengerti akan kehidupan mendatang. (Minal Maimanah/ 050411)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H