Lihat ke Halaman Asli

Senandung Hati Riha

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13274141481698345389

Riha termenung, ketika ia memandang lembayung senja yang menggaris membelah sebagian langit, sore itu begitu cerah, tidak seperti biasanya kabut hanya menyelimuti tipis kaki bukit Papandayan, sesaat kemudian terlintas bayangan Afandi, kekasih hatinya, tunangannya, air matanya pun tak terbendung, Riha terisak, butir air mata menetes dipipinya yang merah.

“haha, kamu ini ada-ada saja, massa mas mu ini disuruh bawa onta, itu bukan romantis tapi menyiksa” ujar Afandi lewat seluler.

“Abis aku bosen mas, naik sepeda onthel, katanya mau yang romantis sekalian aja pake onta, nah mas yang beli tuh di Mekah” jawab Riha sambil cemberut.

Meskipun jarak mereka berjauhan tapi seakan mereka memahami ekspresi wajah diantara mereka.

“Yo wis, aku mau isti’dzan (mohon izin) pulang ke Ustad Abu bakar di kediamannya di Madinah, setelah itu aku mau berkemas, besok aku sudah beragkat dari Jeddah, kamu istirahat gih, besok kan katanya mau nemenin ummi belanja ke pasar” kata Fandi.

“ya mas mangga (silahkan, sunda)” jawab Riha.

“Assalamualaikum”

“wa’alaikum salam”.

Kata-kata itu seakan masih melekat ditelinga Riha, selalu membayang dibenaknya, canda terakhir lewat telepon sebelum akhirnya pesawat boing 7774R yang ditumpangi Afandi mengalami kerusakan mesin dan gagal mendarat darurat di Kuala Lumpur, terdengar kabar tidak ada korban dalam gagal landing tersebut namun semua penumpang terbengkalai di Malaysia hingga akhirnya Riha menyadari bahwa Afandi tidak ada kabar, handphonenya tidak bisa dihubungi, dan semenjak itu pula Afandi hilang.

Riha masih terbaring di sofa di beranda rumahnya, kosong, hatinya masih melayang membayangkan Afandi, senyumnya, candanya, segalanya dan apapun kenangan yang pernah diarungi bersama Afandi kembali terkenang, meskipun sebenarnya lelah, ia tetap terhadap keyakinannya, suatu saat Afandi akan datang, menjawab semua impian yang pernah mereka berdua rajut, tak terasa iapun terlelap, tidur dengan senyuman hampa.

“Apa mi??? Kenapa Ummi ga bilang dulu sama aku?” jawab Riha setengah kaget, setelah mendengar kabar dari Umminya bahwa dirinya dilamar oleh Ustadz Arif.

“Lho kan Ummi juga belum menerimanya neng, Ummi dan Abimu belum bisa mmenentukan jawabannya sebelum kamu sendiri yang menentukan” jelas Ummi.

“Oh, Syukurlah ummi, masalahnya aku kan masih dalam khitbahnya mas Afandi, aku masih berharap mas Fandi datang” kata Riha.

“Ya ummi juga mengerti neng, tapi hingga sekarang Fandi belum ada kabar, bisa saja kan dia. . . .” Ummi nya tidak meneruskan kata-katanya, ketika saja menatap wajah putri semata wayangnya berbinar. Kemudian Ummi memeluk Riha, keduanya larut dalam kesedihan.

“Maafkan Ummi, neng! sudahlah, mungkin ini sudah jalan yang ditentukan Allah” Ibu itu mengelus pundak anak perawannya tersayang.

Arif Muhammad, seorang ustadz di desa Cimuncang, tidak ada catatan buruk dalam hidup bermasyarakatnya, baik, alim, sopan, dan hmm, lumayan ganteng, apalagi katanyabanyak para gadis yang suka sama dia, tapi ternyata hati Riha masih belum bisa memaksakan untuk menerima lamaran Ustadz Arif, hingga kini masih ditangguhkan, namun ia menyadari, semuanya tidak bisa didiamkan begitu saja, ia harus memilih, menerimanya atau menolak, ia juga menyadari bahwa menunggu adalah hal yang membosankan, dan menjenuhkan, ia sadar betul apa yang dirasakan Ustadz Arif.

“Istikhoroh neng, mungkin itu bisa membantu” Saran Umminya.

“Iya mi, sudah Neng jalanin, belum ada petunjuk mi” terang Riha.

“Ya sabar aja, nanti juga pasti ada petunjuk dari Allah” sambung Umminya.

Sebulan berlalu,

“”Ummi,,, Surat undangan yang buat temen-temen Riha disebelah mana?” tanya Riha pada Umminya yang sedang di dapur.

“Mungkin di kamar neng” jawab Ummi,

Rihapun bergegas ke kamarnya dan segera merapihkan surat undangan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, pasca penerimaan lamarannya ia bener-bener sibuk mempersiapkan hari pernikahannya.

“Akhirnya, aku memutuskan untuk menerima lamaran Udstaz Arif mas” sambil membayangkan wajah Afandi.

“Maafkan aku mas” . . .

Hari yang dinantikan pun akan tiba, besok pernikahan Riha Mariana akan segera dilangsungkan, rumah Riha sudah dipenuhi oleh kerabat-kerabat jauhnya, hari ini dia akan sowan ke rumah kakeknya di Kota, Riha berangkat ditemani Irna, ternyata dalam hatinya masih membayangkan dan mengharapkan Afandi, selama perjalanan ia melamun, hingga pada akhirnya ia tak menyadari mobil yang disetirnya oleng dan,,,,

“Gubrakkk” Riha menyerempet sepeda motor yang berlawanan arah.

“ya Allah, apa yang terjadi” Riha terkejut, wajahnya pucat pasi.

“Riha kamu tidak apa-apa?” tanya Irna pada Riha.

“Tidak Na,, Aku menabrak seseorang, coba kamu lihat keluar, apa dia baik-baik saja?” Pinta Riha.

Lelaki yang ditabrak mobil Riha terpental beberapa langkah, sepertinya orang tersebut tidak mengalami luka yang parah, terlihat orang tersebut bangkit. Dan menatap ke Riha yang masih didalam, mobil tersebut.

Riha pun keluar dari mobilnya,

“mas ga apa-apa?” tanya Riha, tapi sesaat kemudian ia terkejut,,,

“Ya Allah, Mas Afandi???”

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline