Lihat ke Halaman Asli

... Dia, Kartini Bagi Saya!

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Saya lahir dan besar di sebuah kampung di Boyolali, sebuah kabupaten kecil di lereng Gunung Merapi. Terlahir dari seorang ibu sederhana bernama Sumiyati, saya terbiasa hidup susah sejak kecil. Meski sederhana, beliau adalah seorang ibu yang luar biasa. Dari beberapa budhe-pakdhe dan bulik-paklik, baik dari pihak bapak maupun ibu, ibu saya adalah salah seorang, yang menurut saya, cukup “sukses” dalam hidup. Bagaimana tidak? Dengan latar belakang Sekolah Dasar, dan hanya seorang pedagang di pasar, ibu saya bisa menyekolahkan saya di ITB sampai selesai.

Bagi saya, ini bukanlah suatu hal yang biasa. Dan di sepanjang hidup saya, saya akan selalu mengingatnya sebagai sebuah proses yang luar biasa. Bagaimana tidak? Karena kondisi ekonomi, kuliah bagi keluarga saya adalah barang mewah. Ibu (dan ayah) saya juga hanya lulusan Sekolah Dasar dengan pemikiran yang sangat sederhana. Tapi saya beruntung, saya memiliki seorang ibu dengan pemikiran simpel dan positif. Tahun 1997, saat saya “ngotot” ingin kuliah ke Bandung, ibu saya adalah orang yang paling mensupport (disamping bapak saya tentunya). Padahal saya tau kalo beliau tidak memahami sepenuhnya apa yang sedang dilakukannya saat itu.

Saya tau, bukan hal yang mudah bagi ibu saya kala itu untuk melepaskan anak bungsunya merantau ke Bandung, karena selama 17 tahun saya selalu bersamanya. Saya paham, bukan hal yang gampang baginya untuk mencari uang untuk makan dan apalagi membiayai kuliah dan hidup saya di Bandung. Saya mengerti bagaimana ibu saya sedih dan menangis saat dicibir oleh tetangga atau saudara karena “membiarkan” anak perempuannya merantau. Hidup di kampung seperti tempat tinggal saya, memang masih dipenuhi dengan pola pikir konvensional. Pandangan terhadap anak perempuan selepas dari SMP atau SMA tidak lain adalah untuk dinikahkan. Tapi Ibu saya merestui pilihan saya, meski konsekuensinya, sangat berat. Mereka harus bekerja keras dan bercucuran keringat untuk membiayai kuliah saya.

Bukan hal yang mudah memang. Tapi akhirnya bisa kami lalui juga.

Jadi, kalo berbicara mengenai Kartini dan konsep emansipasi sebagaimana banyak dibicarakan orang hari ini, bagi saya, Kartini bukan hanya mereka yang mampu mengepakkan sayapnya tinggi-tinggi dan terbang di awan; Kartini juga bukan hanya mereka yang mampu mencapai mimpinya untuk menduduki posisi-posisi penting, TAPI juga mereka yang meski tetap menapakkan kakinya di tempat yang sama, tapi mampu melepaskan belenggu “keterbatasan” dan mengatasi “ketidakmungkinan”. Dan Ibu saya adalah Kartini bagi saya. Kerelaannya untuk melepaskan saya, juga setiap tetes keringat dan untaian doanya membuktikan betapa luar biasanya ibu bagi hidup saya. Meski dengan kesederhanaannya, Beliau mempu meneguhkan diri mengatasi setiap kata dan kondisi yang melemahkan dirinya.

Campur aduk perasaan saya setiap kali saya mengingat ibu dan perjuangan yang harus beliau lewati kala itu. Ada HARU dan BANGGA di sana.

Saya mengucap syukur untuk apa yang sudah Tuhan kerjakan dalam hidup keluarga saya. Sampai hari ini pun saya BUKAN orang KAYA, pun bukan orang BESAR, tapi saya tahu dan menyadari bahwa Tuhan memberkati saya terlalu banyak – sangat melimpah.

Tulisan ini didedikasikan untuk Ibu.

Kobe, Jepang, 21 April 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline