Lihat ke Halaman Asli

Teror Perempuan

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

artwork by Alfonsus Lisnanto Gathi

Bukankah orang-orang mulai menghertakmu dengan tanda tanya yang biasa saja, kenapa kamu menghertak dengan taring yang luluh, seakan akan apelmu dihilang oleh makhluk asing jahat. aku di halaman menciptakan kota kota , menjalar dalam kenang. Aku tahu itu hanyalah sepasang mata mata yang siap kamu pasang di rentetan kitab. Aku ingat tentang kesepakatan kitab yang kau tawarkan di sore mendung bernama . kau tahu? aku tidak tertarik sama sekali. Luluh jalan petang menghambat , lajang selangkangan dunia , menghidupkan udara yang begitu penuh. Aku diam diam mencium kulitmu, lewat udara. Aku bersaksi, kamu bisa tuli.Walaupun aku diam luruh. Duniaku membuka, rangsang tentang jala-jala liar yang aku ciptakan dihalaman bernama. Suasana petang yang ingin kau tawarkan tidak menarik perhatianku untuk melalui jembatan itu, Kau tahu. aku belum benar beranjak, menelpon gusar pun aku anggap aja isapan tentang mata-mata. Jadi kau mata-mata? aku tidak setuju. pohon mata-mata, jala mata-mata, rumput pun juga tidak bergoyang.Riang, perlahan aku mengalihkan perhatian dengan ribuan ciuman yang kita ciptakan di jalan, di dapur , di perempatan jalan, di gedung gedung bertingkat yang membuat kita berjingkat. Kau sesak, aku telak. Aku menghujam tubuhmu , mulut rumah yang kalam. Lama sekali perbandingan ini. Keinginan-keinginan yang orang-orang menyebut sampah, tentang persepsi siapa ? , Di suatu sore, kau mengenggam tangan, aku telak, aku membuka dada. karma-karma beterbangan menghujam luka, aku menelpon kegusaranmu, Sore, mendung, senja bukan yang aku harapkan. Mata sayu, perempuan dengan dada penuh karma berlalu, mengenggam lukamu. mencium kepastian tak terelakkan. Kitab-kitab tergeletak pekat di dapur, aku menghujam pisau untukmu, kulempar tepat di pintumu. Dada terbuka, karma terbuka. Darah bersama. Siapa yang berjumpa dengan titik yang berjumpa dengan luapan lenguhan yang panjang, di jantung malam, Dalam suka yang berkelebat bayang. Kematian-kematian itu berjalan pelan , lekat dengan duduk yang peluh. Bahkan mata mata itu membungkam, dada karma raga rapuh, langit tak lagi berwarna yang kau inginkan. Ragu-ragu bermula dari isapan jempol yang membuat duniamu menjadi batu. Perempuan perempuan dengan pisau dimata, diam mengenggam bergumam bodhisatva , Katakanlah jika itu adalah halaman yang terciptakan dengan peluh. She's boddhisatva .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline