Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Senja yang Menggema

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari jauh aku melihat rumput-rumput kecil itu seakan bergoyang. Bukan karena tersapu angin, tapi karena dijatuhi rintik-rintik air yang membuat gerakku beku di gubuk kecil ini. Ribuan rumput itu terpapar disejauh mataku memandang hingga kutemui batasnya pohon palm yang berjajar. Aku termenung sambil bersandar pada tiang bambu penyangga gubuk.

Sudah beberapa menit sejak aku dan dia tertahan derasnya hujan, kami belum berbicara sepatah katapun. Dia tampak kedinginan. Aku juga. Kumasukan jemariku kedalam jaket. Dan dia mendekap kedua lengannya. Sesekali aku meliriknya, ingin berkata tapi canggung rasanya. Aku dan dia memang tak begitu dekat.

Suara hujan seperti irama yang begitu damai, aku pura-pura menikmati walau sebenarnya hatiku gusar. Gelisah namun tetap kututupi dalam keangkuhan. Dia juga tetap diam, karena dia tak kalah angkuhnya dariku. Sudah kuduga pasti enggan baginya memulai pembicaraan diantara kami.

Biarpun tak terlalu dekat, aku sedikit banyak tahu tentangnya. Saat dia masih duduk dibangku SD, aku sempat membimbingnya dalam bidang pramuka. Dia sangat menguasai materi tertulis. Dalam seleksi regu inti dia mendapat nilai tertinggi. Namun dia terlalu pendiam dan mentalnya tidak cukup kuat. Tapi siapa sangka tiga tahun kemudian saat dia kelas tiga SMP dia sudah mampu menggantikanku menjadi Pembina.

Kadang aku melihat banyak kesamaan antara aku dan dia. Tapi ku anggap bukan apa-apa, bagiku itu wajar karena anak usia kelas lima SD seperti dia waktu itu masih sangat mudah dibentuk karakternya. Terutama dia anak yang penurut, mungkin karena dia juga penakut dan tidak suka mengambil resiko. Jadi begitu mudah memasukan doktrin-doktrinku.

Fisiknya juga tidak begitu kuat. Dia sering terengah-engah saat lari pemanasan sebelum latihan. Dia juga cepat lelah dan pucat jika terlalu lama latihan baris-berbaris dibawah terik matahari. Itu pengamatanku salama kurang lebih enam bulan dalam pelatihan menghadapi Lomba Tingkat Dua.

Ah aku baru sadar, ternyata aku tidak terlalu buruk sebagai seorang pelatih pramuka. Biarpun angkuh aku lumayan bisa memperhatikan anak didikku. Hingga ahirnya, saat aku lulus SMA dan memutuskan untuk berhenti dari pengabdianku ternyata gadis ini yang bersedia meneruskan perjuangan kita bersama untuk mendidik generasi berikutnya.

Setelah itu aku memutuskan untuk hijrah kesuatu tempat yang jauh. Selama kurun waktu lima tahun aku tidak lagi melihatnya. Walaupun terkadang masih ada komunikasi lewat dunia maya. Tapi itu sebatas membahas tentang perkembangan organisasi pramuka yang kami perjuangkan bersama. Ternyata dia tak juga berubah dalam keangkuhannya, dia tetap bertahan dengan sikap diamnya. Dan tetap keras kepala, apalagi pada prinsip dan ambisinya.

Tiba-tiba aku teringat, dulu aku sempat mengajaknya bicara, bercanda danmencoba membuatnya sedikit terbuka. Aku memang angkuh, tapi aku tidak terlalu pendiam. Dia juga merespon sapaanku kala itu. Tapi kemudian dia tak juga terbuka padaku. Hingga seterusnya aku harus menyapa dulu agar dia bersuara. Itu membuatku jengah.

Tapi lain cerita setelah aku pergi, dia sering mengirim pesan lewat layar facebook. Bahkan dia memintaku untuk mengirim whatsapp padanya. Tapi hingga kini tak juga kukirim. Selama membaca pesan-pesannya kadang terpikir dibenakku, sudah seperti apakah gadis angkuh ini?

Ternyata saat aku kembali, dia masih sama angkuhnya. Namun banyak sekali yang berbeda. Terahir kami bertemu, dia baru saja diterima disalah satu SMA favorit. Bukan nomor satu, tapi prestasi sekolahnya membuat banyak diminati. Dan dia berhasil lolos lewat jalur ujian tulis.

Sekarang dia sudah menjadi mahasiswi jurusan Pendidikan matematika di Universitas negeri di Jogja. Dia telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Penampilannya juga tak lagi sama. Kini dia mengenakan hijab, hal yang tak pernah kujumpai lima tahun ini.

Hal lain yang tak berubah darinya selain keangkuhan dan sikapnya yang pendiam adalah kecintaanya terhadap pramuka. Sama sepertiku. Dia sempat bertanya apakah aku masih mencintai pramuka seperti dulu? Dan tanpa ragu ku jawab “cinta”. Karena kecintaan itu pula, aku dan dia kini terperangkap dalam kondisi ini. Tertahan hujan dan dibius oleh perasaan canggung yang amat mendalam.

Hujan belum juga reda, rumput-rumput terlihat bahagia berdansa ria, melenggok-lenggok ke kanan kiri. Aku masih bersandar pada tiang bambu itu. Dan dia masih diam melepaskan pandangannya jauh hingga menembus batas-batas pohon palm. Suasana terus saja hening. Yang terdengar hanya nyanyian hujan.

Bisa jadi ini hening yang tak akan berujung, sampai langitpun ikut menegur. Tiba-tiba petir menyambar. Aku saja kaget sampai jantungku bergetar. Lalu bagaimana dengannya? Aku teringat saat dia ketakutan pada petir ketika perkemahan para alumni dilapangan ini juga. Karena tak tahan, ahirnya aku menengok kearahnya. Benar saja, wajahnya pucat. Terlihat jelas dia takut.

Dalam keadaan seperti ini, akupun kalah. Kuhampiri dia dan duduk disampingnya. Tidak terlalu dekat, jaraknya sekitar lima puluh senti. Dia menunduk, karena salah tingkah mungkin. Hujan malah semakin deras. sudah hampir satu jam aku dan dia terjebak saat mempersiapkan kegiatan penjelajahan. Kebetulan karena kegiatan ini adalah kegiatan inti aku dan dia tidak mempercayakannya pada orang lain sehingga kami urus berdua.

Dia terlihat semakin kedinginan. Dia menarik ujung baju lenagn panjangnya untuk menutupi jari-jarinya. Bagaimana ini? Haruskah kulepaskan jacketku lalu kuberikan padanya? Terlalu dramatis. Tapi rasanya tidak etis membiarkan dia kedinginan, karena aku laku-laki.

“Aira, mau pake jacketku?” sebenarnya aku kewalahan melawan harga diriku untuk tidak membuka pembicaraan ini. Tapi dia tersenyum, membuatku tidak menyesal menyapanya duluan. “enggak usah Mas. Dipake Mas Ilham aja.” Masih sama, dia bukan gadis yang sombong. Hanya saja dia harus selalu dipuja maka dia akan menunjukan keramahan yang tiadatara. Kepada siapapun.

“maaf ya, Ra. Karena tadi aku telat jadi kita kesorean bikin tanda jejaknya. Kalau lebih pagi biasanya cuaca masih cerah. Kamu pake gih jacketnya biar gak kedinginan. Nanti sakit lho” entah kenapa aku jadi mengeluarkan kata-kata yang sedikit gombal. Mungkin terbawa suasana. Dia menggeleng. Lalu menatapku, tatapan yag sangat dalam.

Aku menghindar, mengalihkan pandangan pada pohon palm diujung sana. Dari dekat bisa kurasakan Aira menghirup oksigen dalam-dalam lalu menghembuskan karbondioksida seecara perlahan. Seperti sedang mengumpulkan segenap keberanian. Atau aku salah?

“Mas, pada hujan kali ini, kita tertahan pada rintiknya yang membekukan gerak kita. Kita tertahan tak bisa kemana-mana dalam gubuk sederhana ini. Menurut Mas Ilham ini kebetulan atau takdir?” kerlip matanya seolah membawa isyarat yang ingin dia sampaikan. Lalu aku menata perasaan beberapa detik. Ahirnya saat-saat seperti ini terjadi juga, pikirku.

“Entahlah. Tapi bagiku, kebetulan itu hanya sebuah ungkapan yang sesungguhnya tidak ada. Bukankah didunia segala hal sudah diatur dengan jelas oleh takdir?” aku mengarahkan pandangan kepadanya dengan wajah penuh tanya. Mataku dan matanya bertemu untuk pertama kali setelah lima tahun. Cara dia memandangku masih sama seperti waktu itu.

“Lalu bagaimana dengan jodoh? Bukankah kita ditakdirkan bertemu dengan jodoh kita secara kebetulan?” Dalam sekejap tatapannya mampu menghipnotisku. Nada bicaranya membuatku tahu, dia telah terjebak oleh kata-katanya sendiri. Antara menyesal dan terbebas dari beban, dia ahirnya memutuskan untuk tidak lagi bersembunyi dalam ketidakpastian. Sekalipun itu artinya dia telah mengambil resiko yang paling besar.

“Tidak semua kebetulan berahir dengan jodoh. Takdir tetap takdir dan kebetulan hanya sebuah jalan Tuhan yang tidak dimengerti manusia.” Aku kalah untuk kedua kalinya. Aku megalir dan larut bersama perbincangan yang dia inginkan. “Tapi, Aira. Kebetulan seperti apa yang kemudian dengan mudah akan kita yakini sebagai takdir?”

Seolah itu adalah pertenyaan yang paling dia nanti, dia menjawab tanpa ragu “Dari begitu banyak kebetulan, mengapa dua diantara kita dipertemukan. Itu takdir yang selalu kupertanyakan.” Dia seakan mengajakku kesebuah negeri dongeng yang menakjubkan. Pengakuannya membuatku terpaku. Dengan lugunya dia terus merangkai kejujuran demi kejujuran yang dia simpan. Tentang harapannya padaku, impiannya tentang masa depan dan keyakinannya pada diriku mengenai takdir dan rencana Tuhan.

Pengakuannya sungguh membuatku tersanjung. Pujian tulusnya, dan pernyataanya tentang maknaku dalam hidupnya meluluhkan garis batas yang kubuat. Telah lama aku bisa membaca perasaannya. Sejak dia mulai menulis catatan-catatan tentang seseorang di facebook. Saat dia mulai mengirim pesan, bisa kurasakan kegundahan-kegundahan dari hatinya.

Hanya saja aku terlambat menyadari. Sebelum aku pergi, aku sudah merasakan gadis kecil itu memiliki rasa yang tak biasa padaku. Tapi aku hanya menganggapnya seperrti angin lalu. Usianya lima tahun dibawahku, dan dia baru duduk di bangku SMP kelas dua. Sedangkan aku sedang merasakan masa-masa keemasan dan cerita cinta remaja yang sungguh luar biasa.

Ku kira aku hanya cinta monyet yang akan memudar dan hilang saat dia memasuki masa putih abu-abu. Tapi dia bilang perasaan itu justru semakin tumbuh dan berkembang. Seperti layaknya kebanyakan orang, cinta pertama memang sulit dilupakan. Begitu juga dengan cinta pertamaku. Dan jika hingga detik ini dia masih menyimpan perasaan yang sama padaku, mungkinkah artinya aku cinta pertama dan hanya aku saja yang pernah singgah dihatinya?

Aku sungguh merona dibuatnya. Aku sampai menahan senyum Karena begitu gembira, tapi setelah dipikir bukankah ini hanya sebuah perasaan bangga? Dia begitu pandai merangkai kata. Tulisan-tulisannya yang pernah kubaca selalu membuatku tersentuh. Terlebih karena aku tahu, tokoh utama dalam setiap ceritanya adalah aku. Inspirasi dalam setiap permainan penanya adalah namaku. Walaupun semua itu terselubung, tertutup sangat rapi bagai rahasia yang dia jaga bertahun-tahun.

Kini, deretan rahasia itu trepapar jelas dihadapanku. Seakan tak peduli pada peraaan dan pikiranku, dia terus saja mengungkapkan tentang mimpi-mimpi bawah sadarnya. Dia selalu berharap kelak akan melewati segalanya disisiku. Dia merasa ini adalah takdir yang tertulis dalam lembaran suci jauh sebelum kami dilahirkan.

Dan seberapa hebat tekadnya untuk menyerah terhadapku, dia selalu tak mampu. Dalam keputus asaannya dia selalu mendapat kekuatan baru layaknya keyakinan yang digemakan seluruh alam. Hingga dia berpikir suatu saat dia akan menemukan romantisme masa depan yang pernah aku janjikan sebelum kami turun kedunia. Karena semakin hari, semakin banyak jalan yang dia lalui, dia semakin merasa Tuhan menciptakannya dari tulang rusukku.

Dia memang seperti peri dari negeri dongeng. Suara lembutnya membawaku terbang dalam angan-angan. Aku beharap dia hanya sebuah imaji. Karena jika dia nyata, aku tak akan mampu memilih untuk merengkuh atau melepaskannya. Tujuh tahun dia sembunyikan, perasaan itu pasti sangat menyiksa batinnya. Bukannya aku mengabaikan, aku hanya tidak bisa berkata iya. Lagipula keangkuhanku dan keangkuhannya telah melumpuhkan langkah kami untuk saling mendekat.

Hari ini, pada senja yang hujan dia berani mengahiri segalanya. Dan aku yakin, dia tahu betul ahir ini adalah sebuah awal yang baru. Dan gerbang baru yang sudah didepan mata adalah sebuah kebahagiaan atau sebuah penderitaan. Akulah satu-satunya orang yang bisa menentukan. Apa aku akan menyambutnya, meraih tangannya dan merangkai mimpi berdua. Atau justru aku akan pergi semakin jauh dan menjadi takdir yang pahit dalam hidupnya.

Selama ini aku diam karena dia juga diam. Karena aku mampu mempertahankan harga diriku untuk tidak keGRan. Tapi disisi lain, diamku karena aku tak sampai hati mengatakan bahwa perasaanku dan perasaannya ada dalam dimensi yang berbeda. Jadi apakah aku harus diam lagi?

Aku kira tidak. Bukankah jika aku tersentuh dan tidak tega, itu artinya aka hanya simpati dan merasa kasihan? Tapi bagaimana jika aku merona dengan pengakuannya, lalu aku terus kalah dan membiarkannya membawaku kedalam arusnya. Bukankah jatuh cinta itu artinya aku melengkungkan bibirku dengan sendirinya. Tapi sejak kapan aku tersenyum karena dia? Kurasa ini bukan pertama kalinya.

Jadi kapan aku mulai jatuh cinta padanya? Bagaimana bila dia memang tulang rusukku? Jika benar, mungkin radarnya lebih kuat sehingga dia mencariku lebih dulu. Saat kita dipertemukan dia mengenaliku lebih dulu. Dan saat kita dalam kebersamaan, dia mencintaiku lebih dulu.

Lalu bagaimana selanjutnya? Ah, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Tapi aku akan selalu tenggelam pada takdir yang sudah ditetapkan. Begitu juga dengan cinta. Bila waktunya telah tiba kau hanya mampu mengucapkan “Assalamu’alaikum, cinta” dan cerita ini, kurasa aku tahu ahirnya. Hujan telah reda dan gadis itu tersenyum menyambut senja yang akan selalu menggema dalam hidupnya, dalam hidupku, dalam hidup kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline