Lihat ke Halaman Asli

Rusmin Sopian

Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Cerpen: Orang-orang Menyebut Ayahku Koruptor

Diperbarui: 10 Desember 2021   04:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: Kompas.Com

Cerpen: Orang-orang Menyebut Ayahku Koruptor

Aku seolah berjalan menyusuri gelapnya lorong kehidupan dengan penuh kesedihan dan deraian airmata. Terhempas dalam gelombang kehidupan yang amat pekat bahkan pelik. Semua mata memandangku sinis. Tak ada rasa persahabatan. Apalagi persaudaraan yang menjadi ciri khas warga kota kami. 

Mereka menjauh dari derap langkah kehidupan kami. Mengucilkan aku sekeluarga. Menjuluki aku anak koruptor. Pemiskin mereka. Penyengsara mereka dan keluarganya yang hidup di alam kaya raya. Dengan bermodalkan tongkat dan kayu saja mereka bisa hidup sebagaimana lirik lagu band legendaris Koes Plus.

Aku tak mengerti. Sama sekali tak mengerti alur pikiran ayahku hingga harus menjerembabkan diri ke dalam sel yang katanya penuh ribuan duka bagi penghuninya. Ayahku bukanlah lelaki yang asing dengan duit. Tak sama sekali. Bagi ayah uang berserakan di atas meja bukanlah sesuatu yang aneh. 

Semenjak aku tahu cahaya dunia, ayah sudah bergelimangan harta. Uang bergepok-gepok di atas meja, di dalam lemari kamar hingga tasnya bukanlah sesuatu yang asing baginya.

Bagaimana tidak, sebagai anak seorang pengusaha, ayah diwarisi berlimpah harta dan sederet usaha yang secara akal sehat tak mungkin memiskinkannya. Uang terus mengalir ke saku celananya hingga ke tabungan bank tiap bulannya dari produk usaha orang tua yang dijalankannya.

Aku sebagai anaknya pun tak habis pikir. Kenapa ayah tak membelanjakan uangnya yang bejibun itu untuk kemashalatan orang banyak dengan membangun pusat-pusat pelatihan anak-anak muda di Kota kami biar mereka pintar dan cerdas sebagai aset masa depan bangsa. Lagi pula uang sebanyak itu tak akan dibawa mati.

"Kamu terlalu banyak membaca buku," ujar ayah saat itu kepadaku.
"Bukankah dengan banyak membaca, cakrawala berpikir kita luas," jawabku.
"Kamu belum tahu kehidupan yang sebenarnya, Nak. Kamu masih mahasiswa. Ayah dulu saat masih kuliah juga berpikiran sama seperti kamu. Idealis," jawab ayah.

Aku juga tak mengerti alur pikiran ayah ketika dia tiba-tiba mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah tanpa berbekal ilmu birokrasi yang kuat. Bukankah selama ini ayah tak pernah berkecimpung dalam dunia birokrasi? Ikut dalam kepenguusan organisasi pun ayah tak pernah sama sekali. 

Selama ini ayah hanya sibuk dengan urusan bisnisnya. Dari mulai mentari terbit hingga matahari terbenam, ayah selalu disibukkan dengan urusan bisnis dan bisnis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline