Lihat ke Halaman Asli

Rusmin Sopian

Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Cerpen: Perempuan Pemikul Takdir

Diperbarui: 7 November 2021   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan yang turun sejak semalam masih belum reda sama sekali.  Airnya jatuh ke bumi dengan tempo irama musik. Kadang deras, kadang tidak. Bahkan kadang kala hanya berupa derai gerimis, lalu deras lagi, disertai angin dan petir. 

Perempuan muda itu mendongak. Mengamati langit yang masih tetap berpayung mendung tebal. Wajah  Perempuan muda yang biasa disapa dengan nama panggilan Mbak Muda terlihat agak pucat. Ibarat  kembang yang lepas dari tangkainya.

Matahari sudah diatas kepala. Meskipun cuaca seperti masih pagi. Perut Mbak muda bernyanyi. Maklum hanya sepotong singkong dan air putih sehabis subuh yang mengganjal perutnya.

Dia merogoh tas kecilnya. Setelah dikeluarkannya, dia hanya melihat selembar uang sepuluh ribuan yang sudah agak lusuh. Tergeletak ditelapak tangan kanannya. Semenjak habis subuh, hanya uang itu yang didapatnya. Sementara jualannya mash menumpuk dan menumpuk. Deretan kue dalam keranjangnya masih tersusun dengan rapi. Terbayang di depan kelopak mata indahnya yang menjadi magnet para lelaki yang melihatnya, wajah para pembuat kue yang menitipkan dagangannya kepada nya.

Terbersit keinginan untuk membeli sebungkus nasi di gerobak penjual yang ada di sampingnya. Tapi wajah anaknya di rumah terbayang dipelupuk bola matanya yang indah bak bola pingpong itu . Anak semata wayangnya, yang pagi itu pergi ke sekolah tanpa uang saku, dan perutnya hanya berisi singkong dan air putih. Sungguh tak adil rasanya bila dia harus membeli makanan sementara anaknya yang sedang  menuntut ilmu di sekolah tanpa uang saku.

Mbak Muda menarik lidahnya yang sedari sebelumnya sudah tergoda dengan makanan yang dijual penjual yang berada disampingnya, Menelan liurnya yang getir dan  melewati tenggorokannya yang kering, hingga purna jadi rasa  pahit. Dan kembali, tangannya dengan pelan dan lemas, kembali memasukkan uang sepuluh ribuan yang lusuh tadi ke dalam tasnya.

"Waduh! ," ucap Mbak Muda panik.

Wajahnya seketika  berubah tegang. Dia segera mengangkat jualannya. Lalu merapikan barang  dagangannya, Hujan deras kembali menyirami bumi. Dingin menjarum kulit. Ibu Tua gemetar. Bibirnya terlihat memutih.

" Kenapa Ibu tua masih di sini? Ayo cepat pergi!!" hardik salah sseorang petugas berseragam yang bertuliskan KEAMANAN dengan aksara kapital di dada baju mereka.

"Sebentar Pak. Saya akan beres-beres dulu," jelas Mbak Muda sambil membereskan dagangannya. Sementara dia mengabaikan punggungnya diderai hujan,

"Sebentar, Pak. Saya minta tolong dengan teman dulu," pinta Mbak Muda lagi dengan tangan menangkup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline