Cerpen : Gadis Bukan Perawan
Bentangan wajah purnama muncul mempesona. Cahayanya yang terang benderang menerangi bumi. Semilir angin menghembuskan nafas istimewanya. Menyelinap masuk ke dalam rumah sebuah keluarga yang malam itu sangat ramai. Semilir angin itu membelai jiwa mereka yang sedang berkumpul di ruang tamu.
" Ananda Priani. Kami dari keluarga besar Wowon malam ini ingin melamarmu sebagai calon istri untuk ananda kami Wowon. Kami ingin ananda priani menjadi bagian dari keluarga besar kami.Apakah ananda bersedia menerima lamaran ini," tanya Ibu Wowon kepada Priani dengan disaksikan keluarga besar Priani. Ruang tamu rumah Priani yang besar terasa sempit mlam itu. Maklum selain keluarga Wowon, hadir juga keluarga besar Priani yang berasal dari luar Kota dan pulau.
" Bagaimana, nak," lanjut Ibunda Wowon dengan nada tak sabar.
" Saya mohon maaf ibu. Malam ini saya belum bisa memberi jawaban. Saya minta waktu satu minggu, Ibu," jawan Priani. Mendengar jawaban itu, wajah-wajah kecewa menghampiri keluarga besar Priani. Mareka amat kecewa dengan sikap Priani.
" Priani. Kamu itu mesti sadar diri. Jangan sok jual mahal. Sudah beruntung masih ada keluarga baik-baik dan pria baik-baik yang mau melamarmu," sela salah seorang Bibi Priani dengan suara emosi.
" Tidak apa-apa Bu, kalau malam ini ananda Priani belum bisa memberikan jawaban. Kami akan datang seminngu lagi," jawab Ibunda Wowon dengan nada tenang dan bijaksana.
' Iya, Bu. Kedatangan kami yang tiba-tiba ini mungkin membuat ananda Priani tak siap dengan jawaban terbuka. Maklumlah. Perempuan," sela salah satu keluarga Wowon menetralisir suasana yang mulai memburam.
Usai keluarga besar Wowon pulang, deretan kata-kata dan diksi serta narasi bernada cakian dan makian serta kekecewaan kjeluar dari mulut keluarga besar Priani kepada dirinya. Hujatn dan makian dari mulut-mulut berbau dari keluarga besarnya yang kebanyakan datang dari luar Kota dan Pulau laksana rudal yang terus ditembakan kearah musuh.
Priani seakan menjadi sasaran tembak dan killing area bagi mareka tanpa ada perlawanan satu diksi pun dari mulut mungil Priani. Malam yang penuh bintang gemintang menjelma menjadi malam yang penuh dengan tetesan airmata bagi Priani. Malam yang dirindui pun menjelma menjadi malam yang menyesatkan jiwa. Dan hanya suara azan subuh yang telah bergema dari Surau yang bisa menghentikan cacian dan makian dari keluarga besarnya untuk dirinya.
Priani masih tenggelam dalam lamunannya. Perkenalannya dengan salah satu pimpinan Kantornya telah membuaikan angannya hingga kepolosok jiwa yang terdalam. Cita-cita gadis lulusan sekolah tinggi ini saat datang ke Kota adalah untuk mereparasi citra dan martabat keluarga. Maklum Priani bukanlah berasal dari keluarga terpandang. Bapaknya hanyalah seorang pegawai rendahan di salah satu instansi Pemerintah. Sementara Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang mengurus anak.