Lihat ke Halaman Asli

Rusmin Sopian

Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Cerpen: Sebuah Penantian Tanpa Jawaban

Diperbarui: 2 Mei 2021   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar.Tulisan.HD

Cahaya rembulan makin menua. Rintik embun mulai menetesi bumi yang gersang. Debu-debu mulai beterbangan dihirup anjing hutan yang masih berkeliaran mencari mangsa. Dinikmati hingga masuk kedalam  rongga dada yang sesak para wanita malam yang tersesat dijalanan. Bahkan debu mulai menempel di dedaunan yang mulai melayu.

Wanita itu masih menatap malam yang mulai memburam sinarnya ditelan asap sisa-sisa pembakaran oleh kaum imprerialisme. Keremangan cahaya rembulan yang indah  harus berbalutkan asap pekat. Kerlap kerlip bintang dilangit tujuh pun harus melawan kegarangan asap. Keeksotisan sinarnya meredup.

Setiap malam, wanita itu menatap langit. Kepada langit yang biru berbalutkan kepekatan, dia bisa bercerita tentang hidupnya. Tentang kegelisahannya. Tentang kekeresahannya tanpa harus dijawab. Keheningan malam yang tak lagi membening setidaknya bisa menjawab semua kerinduannya tentang lelaki yang sering melintas di depan rumahnya.
" Siapa lelaki itu," tanyanya dalam hati setiap lelaki itu lewat depan rumahnya.

Wanita itu sungguh terkesan saat melihat lelaki itu melintas depan rumahnya. Tatapan matanya tajam. Senyumnya menawan. Kumis tipisnya menambah kerupawanan sebagai lelaki dewasa. Dan hanya klakson yang mensinyalkan sebuah tanda bahwa dirinya adalah lelaki terhormat. Tahu etika dan sopan santun walaupun tak ada kata yang terucap dari bibirnya.

Kehadiran lelaki dewasa itu bukan hanya menjadi bahan narasi para wanita di Kampung itu, namun menjadi magnet bagi wanita untuk berkenalaan dengan dirinya. Setidaknya ada harapan yang tersimpan dalam jiwa ketika tahu siapa sebenarnya lelaki dewasa itu. Setidaknya ada asa yang digantung dalam hidup walaupun mareka tidak memahami bahwa ruang itu telah terkunci. Dikunci rapat-rapat oleh lelaki dambaan mareka tanpa kata.
" Siapa sih lelaki yang sering lewat depan rumah kita ini," tanya para wanita Kampung saat mereka berkumpul menjelang senja.
" Nah, aku juga sedang mencari jawaban atas pertanyaanmu itu, sahabat," ujar salah seorang dari wanita itu.
" Tampaknya dia lelaki yang bertanggungjawab," sela yang lain.
" Dan aku yakin  dia seorang lelaki yang gagah dan perkasa," jawab wanita dalam gerombolan itu sambil ngakak yang ikuti koor ketawa para temannya yang lain. Suara tawa lepas mareka membela senja yang makin memerah. Sebuah tanda alam akan mulai bergulir gelap.

Lelaki itu menyadari bahwa dirinya menjadi perbincangan kaum hawa di Kampung tempatnya tinggal kini. Lelaki itu paham bahwa kehadirannya di Kampung ini  untuk sebuah perjalanan hidup yang panjang.
" Bung ini bisa saja. Ada-ada saja sebagai bahan lelucon hidup," kata lelaki itu saat ditanya teman serumahnya saat mareka berbincang.
" Serius.  Bung jadi bahan pembicaraan kaum hawa disini. Jadi trending topik kaum wanita," ujar temannya dengan tatapan genit. lelaki itu hanya tertawa. Tawanya membelah malam yang makin pekat dibalut asap yang tak kunjung pergi. Keduanya pun saling berngkulan untuk membelah malam yang makin genit sebagaimana genitnya dua lelaki dewasa itu dalam keheningan malam yang makin menyuarakan birahi.

Lelaki itu memahami benar sebagai seorang lelaki dewasa dirinya sudah sepatutnya mendapatkan sahabat baik untuk dijadikan teman hidup dalam menatap masa depan yang makin liar dan ganas. Harapan dari keluarga, sahabat baik dan kawan karibnya agar diirnya segera mengakhiri masa lajangnya sebagai pria dewasa seolah-olah sesuatu yang tak mungkin dia perankan. Berkeluarga adalah sesuatu yang mustahil dia lakoni sebagai lelaki seutuhnya. Pengalaman masa silam membuat dirinya menjelma sebagai lelaki yang tak merindukan kasih sayang seorang wanita.

lelaki itu masih ingat dan sangat ingat ketika masih di Sekolah Dasar di Kampung, lelaki itu mendapati ayahnya harus menerima bogem mentah dari Ibunya. Dan peristiwa itu bukan hanya sekali disaksikannya. Berkali-kali. Dan bukan hanya bogem saja yang diterima ayahnya. Namun diksi makian keluar dari mulut tipis Ibunya yang menorehkan luka dalam jiwanya.
" Tidak semua perempuan seperti Ibumu, nak," ungkap ayahnya saat mareka harus keluar rumah dan meninggalkan Kampung kelahirannya.
" Ayah yang salah karena telah menyusahakan Ibumu. Dan wajar ayah mendapat cacian dari Ibumu sebagai jawaban atas kesalahan ayah," ungkap ayahnya.

lelaki itu tumbuh dewasa dibawah bimbingan kasih sayang sang ayah dan sukses menghantarkannya sebagai lelaki bermartabat dengan simbol berpengetahuan yang tinggi. Sebuah didikan dari sang ayah yang menempanya tak peduli dengan wanita. Sebuah perjalanan panjang tanpa adanya kasih sayang dari seorang wanita. Dan dia sebagai lelaki begitu bangga dengan ayahnya.

Seorang lelaki yang penuh kasih sayang dan sarat kelembutan yang tak diperolehnya dari seorang wanita dalam belasan tahun. Kasih sayang dari ayah membuatnya harus menempuh jalan panjang yang sarat dengan makian, cacian serta hinaan dari sekitar.  Dan dia menyadarinya itu semua sebagai bentuk dari melawan kodrat insani. Dan ketika sebagai pria dewasa dia mencintai sahabat lelakinya, tak ada yang bisa menjawab. Tak ada yang bisa menolak. Tak terkecuali wanita yang selalu menungguinya hingga malam meneteskan embun untuk basahi bumi yang mulai kering kerontang. Sebuah penantian panjang dimalam yang makin panjang. 

Toboali, Ramafan hari ke-21/2 Mei 2021

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline