Cerpen: Dua Perempuan
Akhir-akhir ini, aku merasakan sebuah perasaan yang terkucil. Tak ada lagi yang mau bertegur sapa denganku. Tak ada lagi yang mau mengajak ku berbincang di Warung Kopi. Aku sungguh merasa terasing dari pergaulan. Aku merasa terkucil dari pergaulan masyarakat. Aku merasa terkucil di Kampung ku.
Ibu ku belum menunjukan tanda-tanda mau meninggalkan sungai kecil di ujung Kampung. Sesekali terdengar suaranya berdendang. Sebuah lagu lama yang amat terkenal pada zamannya yang disenandungkan penyanyi top pada eranya. Aku merasa Ibu sudah cukup lama beredam di aliran sungai kecil itu. Sudah hampir 2 jam. Aku terpaksa memanggilnya.
" Ibu, ayo kita pulang. Hari sudah menjelang magrib. nanti keburu azan tiba," panggilku dengan nada suara lembut. Ibu kaget. Tatapan matanya sangat tajam menatap ke arah ku. Ibu ku langsung berteriak histeris. Suaranya bergema. Mengaum bak singa kelaparan.
" Pergi. Jangan ganggu aku. Pergi kamu," Ibu terus berteriak. Matanya memerah. Lalu memunguti batu-batu yang ada di dekatnya dan melempar ke arahku.
"Istigfar,Bu. Istigfar," ujar ku. Ibu semakin menjadi-jadi. Makian terus digemakannya kepada ku. Suara cacaian terus diberondongnya kepada ku Demikian pula dengan lemparan batu terus diarahkannya kepada ku. Aku tetatp berdiri. membujuk untuk pulang. Azan magrib telah terdengar religius.
Semenjak ayah meninggalkan kami, Ibu sangat kecewa. Jiwanya mengalami kedukaan. Perempuan cantik itu mengalami gangguan pada jiwanya. Ibu sering melamun sendirian. Kadang bicaranya ngacau. Ibu sangat mencintai Ayah.
: Ibu menikah dengan ayahmu karena Allah," cerita Ibu yang dibenarkan Ayah.
" Iya. Ayah dan Ibumu menikah karena Allah," jawab Ayah pula.
Hingga usia ku sudah mencapai angka 30, aku belum juga menikah. Pernah aku mengenalkan perempuan kepada Ibu. Yang kudapatkan bukan restu Ibu, tapi malah wanita itu mendapat cacaian dan makian dari Ibu. Ibu mengamuk dengan sangat hebatnya sehingga membuat seluruh warga kampung heboh. Mereka, para warga Kampung keluar rumah dan menyaksikan Ibu yang mengamuk. Calon istri ku pun takut setengah mati. Dan langsung pulang dan meninggalkan ku hingga kini tanpa ada kabar beritanya.
Sebagai anak, aku berusaha untuk sabar dan sabar menghadapi ulah Ibu. Nasehat para tetua Kampung membuat ku makin bertekad untuk mengurus Ibu hingga ajal menjemputnya. Ibu adalah belahan jiwa ku.