Cerpen : Lelaki Tua di Teras Mushola
Lelaki tua itu duduk di teras mushola Kampung. Kulitnya gelap. Janggutnya sudah beruban. Mulutnya bau tembakau. Ia mengenakan kopiah hitam yang warnanya sudah terlihat kemerah-merahan. Matanya menatap sekitarnya. Lelaki itu adalah Pak Hasan. Oleh warga kampung lelaki itu disapa dengan panggilan Pak Woi. Entah mengapa beliau dipanggil Pak Woi.
Kini, hampir setiap hari, aku tak melewatkan waktu untuk sholat berjemaah di Mushola yang terletak diujung Kampung. Dan setiap usai sholat berjemaah, aku selalu menyempatkan waktu untuk ngobrol dengan Pak Woi.
Siang itu, usai sholat Zohor berjemaah, Pak Woi duduk di teras Mushola. Mukanya pucat setengah menekuk. Tampaknya, ia menyembunyikan kesedihan. Namun ia berusaha tegar.
" Pak Woi sudah makan," sapa ku saat kami duduk berdampingan.
Pak Woi menatapku. Tatapannya lembut, meski agak kering. Aku lantas duduk di sampingnya. Sekejap kemudian lelaki itu menyulut rokok yang tinggal separuh dan mengisapnya dalam-dalam. Kepulan asap membubung membentuk pulau-pulau kecil yang beterbangan.
" Alhamdulillah, sudah Nak.," jawabnya yang menyebutku dengan panggilan Nak.
" Kalau belum makan, aku beliin," ujar ku lagi.
" Alhamdulillah, sudah Nak. Aku sudah makan," katanya.
Pak Woi memainkan rokok di tangan, memutar-mutar mengitari jemari. Sejurus kemudian ia sudah berbicara lagi. Sangat pelan suaranya.
" Saya perhatikan sekarang anak sudah rajin sholat berjemaah di Mushola ini," ujarnya. Aku menatapku Pak Woi.