Menjelang pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, bahkan hingga kepemilihan RT sekalipun, kata pemimpin menjadi bahan diskusi yang amat menarik untuk diperbincangkan dan dinarasikan. Semua ini sangat beralasan, mengingat tanpa kepemimpinan yang solid (siapa pun orangnya) akan susah membawa suatu lingkungan, daerah,negeri dan bangsa tercinta ini mewujudkan cita-cita dan harapan bersama sebagaimana yang diamanatkan UUD.
Kita semua menyadari bahwa jauh sebelum sosiologi modren berkembang. jauh sebelum tuntutan moral bagi kepemimpinan mengkristal. Jauh sebelum Mahatma Gandhi atau pemikir lainnya mengkedepankan gagasan non kekerasan, kita telah mengenal Plato dengan konsep "Philosopher Kings" dan pemikir konfusianisme yang mengajarkan moral kepemimpinan melalui keteladanan. Bahkan jauh sebelum biografi moderen dikenal, kita telah mencatat Nabi Muhammad SAW memberikan keteladanan sebagai seorang pemimpin umat yang memerangi jahilyah dan membangun masyarakat madani.
Pada sisi lain, kita juga mencatat sepakterjang Bung Karno sebagai pemimpin bangsa ini. Usai menjalani "kehidupan baru" selepas dari penjara, Bung Karno menyatakan seorang pemimpin tidak akan berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama,".
Di tengah himpitan depresi ekonomi dan rezim yang refresif " rust en orde " pada dekade 1930-an, dengan setegar baja Bung Karno menyatakan," Betul banyak orang bertukar haluan karena penghidupan. Tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu,".
Dikatakannya, ketetapan hati dan keteguhan iman adalah salah satu syarat yang kardinal untuk menjadi seorang pemimpin. kalau seorang pemimpin kata Bung Hatta tidak mempunyai moril yang kuat dan setegar baja, maka seorang pemimpin tidak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakkan.
Dalam tipologi Max Weber, ada tiga (3) macam tipe kepemimpinan yaitu kepemimpinan Tradisional, Kharismatik dan Legal Rasional. Kepemimpinan tradisional tergantung kepada kekerabatan tradisi masa lampau yang selalu diingat dari kenyataan yang mendahului. Kepemimpinan Kharismatik merupakan kepemimpinan yang mengaksentuasikan kualitas yang unik dan luarbiasa dari perorangan sang pemimpin. Sementara itu kepemimpinan Legal Rasional bertumpu poada kekuataan imporsonal dan abstrak pada cakupan tugas secara hukum dan pemangku yang mendapat kekuasaan berkat hukum itu sendiri.
Pada sisi lain seorang pemimpin memang harus punya kelebihan diatas rata-rata. Seorang pemimpin harus lebih cerdas, lebih percaya diri,lebih liberal dan lebih bermoral. Singkatnya lebih baik dibanding rata-rata warga masyarakatnya.
Soasiolg UI Imam Prasojo justru mengkhawatirkan dimasa mendatang bangsa Indonesia lebih banyak memiliki kepemimpinan kerumunan daripada kepemimpinan Legal Formal. Pemimpin klas ini jelas Prasojo muncul dari " kerumunan " tanpa memiliki rekam jejak yang jelas.
Guru bangsa Nurcholis Madjid (alm) yang akrab dipanggil Cak Nur tanpa henti dan dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan semua elemen bangsa tentang pentingnya "menegakkan standar moral bangsa".
Dalam analisa Cak Nur, lemahnya standar moral inilah yang menyebabkan kita kini menjadi salah satu halaman belakang Asia Timur. Ditinggalkan oleh negara-negara tetangga yang sudah berkembang menjadi negara maju. Dan penyebabnya lanjut Cak Nur adalah etos kerja yang lembek dan sarat korupsi yang gawat. Sumber malapetaka ini terjadi karena pengelolaan yang lemah dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan.
Bung Hatta sungguh sangat tidak suka, bila rakyat dikondisikan membeo pemimpin. Apalagi menjadi obyek tipudaya penguasa. Negeri yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memerhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya, tidak memiliki kemauan dan melakukan kemauan ini dengan penuh tanggungjawab penuh ungkap Bung Hatta. Jika rakyat dalam kondisi menyedihkan semacam ini, Hatta meramalkan walaupun Indonesia MERDEKA, rakyat tetap tertindas oleh yang berkuasa.