Lihat ke Halaman Asli

Rusmin Sopian

Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Pengkritik dan Pengalok

Diperbarui: 29 Agustus 2018   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: magazine.job-like.com

Budayawan Seno Gumira Ajidarma mengatakan dunia bertambah sempurna dengan adanya sikap kritis. Oleh karena itu berlaku diktum bahwa kritik sangat diperlukan demi kemajuan sebuah zaman dan untuk kebaikan bersama. Lenyapnya tukang kritik atau pengkritik lanjut budayawan ini, merupakan awal lahirnya sebuah keterdindasan baru.

Tak heran, ketika pengkritik dibungkam, maka demokrasi akan menemui ajalnya. Matinya tukang kritik melahirkan pemerintahan yang tirani dan otoriter. Hadirnya pengkritik menjadi pilar sebuah pemerintahan yang demokratis.

Fungsi preventif kritik adalah mengingatkan agar segala kemungkinan negatif tak terjadi dan harus diantisipasi. Sementara fungsi kuratif kritik bertujuan memperbaiki atau mereparasi kesalahan atau menormalkan situasi.

Seorang pemimpin yang rasional, akan selalu melihat kritik dari dua fungsi tadi. Bila tidak, maka sang pengemban amanah rakyat atau pemimpin akan sangat mudah sekali tersinggung.

Profesor Selo Soemarjan mengingatkan kita semua bahwa masyarakat indonesia adalah penganut kebudayaan malu. Bahkan di beberapa daerah, nilai-nilai budayanya membenarkan orang menebus malunya dengan jiwanya sendiri atau orang lain, Carok di Madura atau siri di Bugis.

Dalam masyarakat yang menganut kebudayaan malu, perkara kritik menjadi sangat pelik. Bagaimana menyampaikan kritik menjadi sangat pelik. Untuk itu, Profesor Selo Soemarjan bernasehat. Melakukan kritik itu dibuat sedemikian manisnya sehingga yang dikritik bisa ketawa terbahak-bahak,  sekurang-kurangnya bisa tersenyum geli.

Seorang teman saya pernah bercerita, bagaimana dia mampu mengkritisi kebijakan seorang pemimpin daerah tanpa membuat pemimpin itu marah. Bahkan mereka bisa bersahabat baik.

Caranya ungkap teman saya tadi, dalam pertemuan itu teman saya selama kurun waktu 15 menit pertama "mengalok" atau dalam bahasa Toboalinya diartikan dengan memuji dulu keberhasilannya sebagai pemimpin pilihan rakyat. Tensitas "ngalok" atau memuji tadi tensitasnya diturunkan dalam 15 menit berikutnya.

Dan selanjutnya teman saya tadi mulai mengkritisi kebijakan sang pemimpin tadi habis-habisan dengan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Sang pemimpin tadi mengakui kritik yang disampaikan teman saya tadi benar dan berdasarkan fakta yang terjadi dan menerimanya dengan lapang dada.

Namun teman saya tadi nyaris celaka saat berdialog dengan seorang pemimpin yang hobby dipuji atau "mintak alok". Kendati kritik yang disampaikan teman saya tadi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat, pemimpin yang hobi "mintak alok" tadi berasumsi teman saya menghina dan memfitnah dirinya.

Dalam benak pikiran pemimpin mintak alok ini, kritik yang disampaikan teman saya adalah pil pahit dan bukan sebuah vitamin yang menyehatkan dirinya. Padahal seorang pemimpin yang demokratis adalah pemimpin yang merangkum semua aspirasi yang lahir dan mendengarkan apa yang disampaikan rakyat, termasuk pahitnya sebuah narasi kritik. Karena itu semua untuk kebaikan bersama. termasuk kebaikan untuk sang pemimpin sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline