Lihat ke Halaman Asli

Rusmin Sopian

Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Ada Duka dalam Sesendok Madu Macan

Diperbarui: 29 Januari 2019   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari baru saja terbenam dalam mimpi panjangnya. Sinar lembayung diufuk timur mulai memudar seiring datangnya seberkas cahaya rembulan yang mulai menyapa alam. Menerangi jaga raya dengan ikhlas. 

Sementara di sebuah rumah kontrakan, seorang lelaki baru saja terbangun dari mimpi panjangnya. Suara azan magrib bergema sangat religius.  Seiring derap langkah kaki para jemaah yang bergegas menuju masjid, lelaki itu menyeruput kopi sisa semalam yang masih ada dalam gelas. Kopi itu terasa sangat hampa bak jiwanya yang hampa dimakan pergulatan usia yang makin menua. Sebatang rokok klas murah disulutnya. Asapnya mulai membubung penuhi ruangan rumahnya yang sempit. Sesekali terdengar batuk kecil. Menggetarkan tubuhnya yang mulai ringkih.

Lelaki itu memandang sekitarnya. Tak ada suara. Sepi. Senyap. Hanya suara Imam masjid yang terdengar sangat khusuk membacakan ayat-ayat suci dari mesjid yang tak jauh dari rumahnya. Lelaki itu terdiam. Jiwanya mulai teriris-iris. Tercabik-cabik. Seakan-akan tercerai berai dari raganya.

Lelaki itu sungguh tak menyangka. Sama sekali tak menyangka. Sesendok madu macan telah menjungkalkannya dalam kehidupan yang tak terperikan. Jauh dari kehidupan hakiki sebagai manusia. Jauh dari keluarga. Bahkan teramat jauh dari kereligiusan sebagai manusia.

Sesendok madu macan istilah sebuah minuman khas di arena hiburan di daerahnya. Minuman klas murahan itu yang berisikan campuran madu yang bisa membuat penikmatnya menjadi garang bak macan sehingga membuat malam yang bening menjelma menjadi malam yang sarat kesesatan nurani. Minuman madu macan diteteskan lewat sendok ke dalam gelas penikmatnya oleh seseorang wanita pekerja di ruang hiburan itu. Dan gara-gara ketagihan menimati minuman madu macan yang amat khas itu, telah mendamparkannya dalam kehidupan Kota yang amat ganas bahkan tak berperikemanusian. Lelaki itu terdampar dalam rimbunnya beton-beton penghias Kota. Dan ternyata, lelaki itu kalah ganas dalam rimba tak bertuan Metropolitan. Dia terpincang-pincang dalam kehidupan rimba yang  tak bernurani ini.

" Kita harus pindah ke Kota biar kita bisa menikmati kehangatan jiwa kita," bujuk seorang wanita yang selama ini menjadi pelampiasan shawatnya dikala nurani dewasanya menggoda.

" Apa bekal kita di Kota," tanya lelaki itu.

" Lho Mas kan masih punya tabungan dan tanah. Itu bekal kita di Kota," lanjut wanita itu dengan manja.

" Bukankah disini tak ada yang tahu dengan hubungan kita? Tak ada yang perlu dikhawatirkan toh," jawab lelaki itu. " Lagi pula aku tak punya kolega di Kota," sambung lelaki itu.

" Aku cemburu Mas. Soalnya Mas masih saja pulang ke rumah. Aku ingin Mas bersama aku selamanya," rengek wanita itu dengan suara yang amat manja. Maklum suara penyanyi. Dan malam itu keduanya kembali menikmati indahnya malam yang amat bening  sebagai malam beraroma kesesatan. Keduanya tak bernurani dalam selimut dosa. 

###

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline