Lihat ke Halaman Asli

Rusmin Sopian

Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Rumah Tua Nenek Renta

Diperbarui: 13 April 2016   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Disebuah sudut jalan, di sebuah Kota yang sedang membangun, teriakan demi teriakan hingga tetesan airmata menjadi pemandangan yang biasa yang bisa dilihat bahkan dipertontonkan kepada publik. Di gang itu, caci maki hingga air mata yang mengering seolah-olah sudah menjadi diorama nyata sebuah epilogi kehidupan yang faktual.

"Kalau kita semua lemah maka penguasa arogan itu akan memakan kita hingga perut kita terurai ke jalanan. Dan itu yang dia inginkan. Kita jangan lemah. Kita harus kuat. Dan yang paling penting kita harus bersatu," teriak seorang warga dihadapan para pemetik airmata kehidupan yang terkulai didepan reruntuhan bangunan rumah mareka yang kini telah bersatu dengan tanah.

"Lantas apa yang bisa kami perbuat," tanya seorang warga dengan nada sesugukan menahan tangis.

"Lawan. Hanya satu kata buat penguasa arogan itu, lawan," teriak warga.

Malam itu adalah malam ketiga para warga sudut Kota itu tidur beralasakan tanah dengan beratatapkan cahaya rembulan yang makin melayu. Dideretan para warga yang tidur secara acak, tampak sejumlah anak-anak balita yang tiap menit selalu rewel menghadapi dinginnya malam dan sejumlah ngiangan suara nyamuk yang bergemuruh datang menyerbu. Suara rewelan anak-anak balita itu amat harmoni bak lagu klasik Mozart yang sedang didengarkan para penyokong di ruang kerja Pak Penguasa.

"Kalian harus bisa mainkan tempo sehingga kesan saya terzolimi oleh ulah masyarakat amat kental sehingga skenario ini tak terasa rekayasanya," ujar Pak Penguasa.

"Siap Pak Penguasa. Pokoknya Bapak serahkan semuanya kepada kami, para penyokongmu ini. Toh ujung-ujungnya mareka para peneriak itu pasti butuh ini,"ujar seorang penyokong sambil menggesekan jari jempolnya dengan telunjuk yang membuat para penyokong lainnya ketawa terbahak-bahak hingga suara mareka menembus jantung para balita yang sedang rewel. Dan para balita itu pun terdiam sejenak.

Sudah tiga hari ini para warga tidak berdemontrasi di halaman Kantor Pak Penguasa. Dan sudah tiga hari ini kondisi hunian para warga terdiam dari deru mesin eskavator. Dan sudah tiga hari ini pula tak ada para aparat yang datang ke lokasi hunian warga yang telah berbaur dengan tanah. Sejumlah pertanyaan pun muncul dibenak para warga dan para aktivis kemanusian yang secara sukarela mengadvokasi para warga dengan semangat 45.

"Kita jangan terlena. Dibalik diamnya aksi arogan mareka tersimpan aksi busuk. Kita harus waspada," ungkap seorang warga dengan lantang.

"Ya. Kita harus waspada," sambung warga yang lain.

"Dan kita jangan terlena," saran warga lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline