Lihat ke Halaman Asli

Rusmin Sopian

Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Sebait Puisi Rindu Sang Penyair Kasmaran

Diperbarui: 26 Maret 2016   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki muda itu sempoyongan. Jalannya tertatih-tatih. Untuk mencapai rumah kostnya pun, langkah kaki harus diseret. Luka hati yang amat mendalam mengolah jiwanya menjadi kerdil yang mengalirkan ke pusaran raganya hingga badannya pun harus menanggung beban yang amat berat. Seperti beban yang sedang dipikul rakyat yang sedang menjerit ditengah himpitan ekonomi. Seperti beban hidup yang dialami para koruptor.

Lelaki muda itu langsung terjerembab dalam pembaringan yang kusuh. Terbaring dalam kelesuan hati yang membara dibakar malam yang enggan bersahabat.Lelaki muda itu seakan terlelap dalam mimpi buruk malam yang enggan menyapanya malam ini. Sementara di meja berserakan puisi-puisi yang pernah memamorkan namanya dalam belantika jagad sastra negeri ini. Puisi-puisi yang pernah mempopulerkan namanya sebagai penyair top negeri ini. Dan puisi- puisi yang menghantarkannya menjadi lelaki perindu tanpa batas.

Siapa yang tak kenal dan mengenal Timpas, penyair muda yang terkenal dengan diksi kata-kata yang romantis dan terkadang melawan rezim yang berkuasa. Dan siapa pula pembaca media yang tak tahu kepiawaannya dalam meramu kata-kata indah sehingga menjelma sebagai sebuah puisi yang bagus dan memiliki daya tarik orang untuk membacanya. Dan siapa pula pecinta sastra panggung negeri ini yang tak mengenal lelaki muda itu yang pernah melahirkan antologi puisi ” Wanita Di Simpang Lima ” yang pernah difilmkan dan disinetronkan di media televisi? Semua orang tahu. Dan tidak semua orang tahu tentang kelaraan hatinya yang dibakar kasih tak sampai.

Kini lelaki muda yang hobby bersastra lewat panggung-panggung itu pun kini terlelap dalam kesunyian malam yang makin merenta. Lelaki muda itu kini terbaring dalam lelapnya sang rembulan malam ditemani bantal yang menua dengan kasur yang menepis. Lelaki muda itu kini terlelap dalam impian yang tak bertepi diujung malam yang mulai menua. Lelaki muda yang kini harus meratapi malangnya nasib hidup digugurkan asmara hati yang belum mekar ditelan zaman.

Lelaki muda itu tak menyangka dan sama sekali tak menduga, perkenalaannya dengan wanita dari Pulau Seberang lewat media sosial telah merontokkan harapan jiwanya dan meleburkan jiwanya dalam penderitaan yang tak bertepi. Sebuah asa yang tak pernah dia nikmati secara nyata. Dan ini menjadi derita hidupnya sepanjang malam.

Lelaki muda itu masih ingat bagaimana saat berinteraksi lewat media, asa diguncangkannya. Harapan dikobarkannya sepanjang malam.Jiwanya membara seharmoni usianya yang membakar langit. Followernya banyak dan bejibun. Tweet demi tweet dia harmonikan sebagai sahabat malam-malam yang indah sebagaimana indahnya malam yang selalu memberikan senyum kepada penghuninya.
 Dan dia tahu, wanita muda yang menamakan dirinya di medsos dengan nama Adinda selalu menjadi objek dirinya untuk menjulangkan langit.Diksi romantis dari Adinda meromantiskan getar cintanya yang mulai tumbuh dan berkembang.

Lelaki muda itu seakan kehilangan kata-kata indah saat tahu followernya telah menjadi milik pria lain yang selalu menjadi penjaga ranjang setiap malam. Ya, lelaki tehnisi kimia itu adalah suami dari Adinda yang selalu memberi kehangatan malam saat titik embun mulai berkeluhkesah tentang malam yang jantan. Hanya dengan lelaki itu romantisme malam Adinda memuncak hingga terbangunnya mentari.

Lelaki muda itu masih ingat dan selalu teringat tweet dari Adinda tentang selamat tinggal malam yang sepi dan selamat datang titik embun yang mulai datang mengaliri naluri kehidupannya. Dan tweet itu seakan mensinyalkan sebuah tanda-tanda hilangnya Adinda dari gemerlapnya kata-kata lewat tweet yang pernah mengharmonikan jiwa mareka dalam beberapa bulan lalu. Dan sebuah puisi tentang kepergian wanita senja pun dia luncurkan bertepatan dengan hilangnya tweet-tweet dari Adinda.

Lelaki itu memang tak berputus asa dan terus mencari dan mencari hingga ke pelosok Pulau. Namun tak satu diksi pun yang dia terima dimana wanita itu berada. Kepada angin malam ditanyakannya. Demikian pula kepada bintang gemintang pun diadukannya. Tak terkecuali kepada sepoinya angin malam yang menghangatkan malam-malamnya kini yang mulai menghantam tubuh mudanya.
 ” Wahai malam yang durjana. Dimanakah sang penggoda hatiku kini berada,” ucapnya ditengah kerlap kerlip bintang malam.

Sayangnya sejuta tanya yang dia resonansikan kepada penghuni alam tak mendapat jawaban yang pasti. Angin selalu menjawab ke selatan saat pusaran angin bertiup ke selatan. Demikian pula dengan bintang gemintang yang hanya menjawab lewat kerlingan genitnya malam.
 ” Lantas kepada siapa aku harus mengadu dan bertanya,” tanyanya kepada malam yang sepi.

Lelaki itu terus mencari dan mencari hingga menemukan jawaban yang pasti tentang dimana keberadaan wanita yang hanya ingin dilihatnya dari jauh.
 ” Saya hanya ingin melihatnya dari jauh saja,” tulisnya dalam sebuah lirik puisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline