Lagi dan lagi, dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan viralnya pemberitaan mengenai pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Kejadian yang bermula saat korban mahasiswa melakukan bimbingan skripsi pada 25 september 2024.
KRONOLOGI
FS atau pelaku meminta korban datang keruangannya seperti mahasiswa lainnya. Saat ia meminta izin pulang, dosen justru menahan korban. Korban berusaha untuk menolak, namun pelaku justru memegang tangan korban dan ingin memeluknya. FS memaksa melakukan tindakan tidak senonoh, hingga korban berteriak untuk meminta pulang.
Atas kejadian tersebut, korban mengaku mengalami trauma mendalam dan kesulitan melanjutkan kegiatan kampusnya. (Kompas.com 20/11)
KORBAN DISUDUTKAN
Pada pemanggilan kedua korban di Satgas, korban merasa disudutkan karena ada dosen yang menyebut dirinya sedang berhalusinasi.
Pihak kampus menyatakan bahwa akan segera melakukan penyelidikan serta mengambil tindakan tegas mengenai pelecehan tersebut. Pelaku dicopot dari jabatannya dan dinonaktifkan sebagai dosen. Selain itu pelaku diberhentikan sebagai Ketua Gugus Penjaminan Mutu dan Peningkatan Reputasi. FS atau pelaku juga akan dibebaskan sementara dari tugas pokok dan fungsinya sebagai dosen selama semester ini dan dua semester mendatang.
APAKAH INI MERUPAKAN SANKSI BERAT YANG DIBERIKAN KEPADA PREDATOR?
Merespon kasus pelecehan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi Negri di Indonesia, menjadi bukti akan bobroknya dunia pendidikan saat ini serta bobroknya kebijakan yang diberikan kepada predator seksual yang tidak memberikan efek jera. Alih-alih memberikan sanksi yang setimpal, justru korban disudutkan dengan narasi "Berhalusinasi".
Dalam membahas kasus pelecehan seksual membutuhkan kemampuan kita untuk memahami realitas sosial masyarakat. Dalam masyarakat yang menganut prinsip kebebasan telah memberikan celah bagi setiap individu untuk berbuat sesuka hati. Sehingga tidak ada batasan mengenai interaksi antara lawan jenis.